͜✩ Jangan lupa buat komen, sekalian klik tombol bintangnya ya! Vote gratis kokk.
Don't do a plagiarism, i know that your brain were better than me.Happy Reading!
.
.
.
Aku mengemasi barang-barangku ke dalam koper. Kutumpuk baju yang sudah kulipat rapi. Aku hanya memasukkan beberapa potong baju dengan setelannya. Tidak perlu banyak-banyak, aku tahu aku tidak akan berlama-lama berada di sana.
Selesai.
Aku menutup resleting koper, lalu meletakkannya di pojok kamar. Barang-barangku sudah siap semua, tidak ada yang tertinggal. Keberangkatan ku ke Beijing tinggal satu hari lagi, aku harus segera bersiap-siap agar tidak terburu waktu.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Punggungku pegal, sejak tadi asik membungkuk melipat dan menata baju. Aku menatap langit-langit kamarku yang jauh tiga meter di atas. Cahaya kristal dari lampu yang menggantung menerangi kamarku dengan sempurna. Aku memejamkan mataku perlahan.
Secara tiba-tiba pikiranku melayang jauh kemana-mana. Bagaimana ya, kabar Ayah dan Bunda di London? Apa yang sedang ketiga kakak laki-lakiku ributkan saat ini? Sudahkah nenek makan malam? Apa yang akan aku lakukan jika aku sedang berada bersama mereka di sana sekarang? Tanpa kusadari, setetes demi tetes air mengalir dari pelupuk mataku. Aku menelan ludah, perih.
Aku tidak kuat menahan semua ini, akhirnya tangis ku pecah tanpa suara. Aku lelah hidup di lingkungan ini. Aku sedang mengangkat beban yang berat, aku sedang diberikan tanggung jawab yang besar. Bunda, aku memegang nyawa puluhan orang, sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Aku rindu Bunda, aku rindu saudara-saudaraku, aku rindu sekali dengan nenek, dan... Aku juga rindu Ayah.
Bunda, aku lelah. Bagaimana caranya aku bisa lepas dari semua ini? Aku ingin pulang, aku lelah..
Klek!
Terdengar suara pintu terbuka dari luar. Aku berjingkat kaget, aku segera menghapus jejak air mata dengan punggung tanganku. Aku duduk dengan tegak di pinggir kasur, berusaha memasang wajah senormal mungkin.
Seorang wanita dengan rambut cokelat pirang yang tergerai di punggungnya berjalan masuk. Matanya teduh menatap sekitar. Aku tersenyum melihat kehadirannya. Mama balas tersenyum hangat padaku. Ia melangkah menuju kasur, lalu duduk di sampingku.
"Thalia sudah siap untuk berangkat?" tanya Mama.
"Sudah, Ma. Thalia sudah menyiapkan semuanya untuk besok, jadi Thalia hanya menunggu jam keberangkatan."
"Thalia yakin, mau berangkat? Tenaga Thalia sudah benar-benar pulih? Kamu baru delapan hari berada di rumah.." Mama menghela napas.
"Aku yakin, Mama. Lihat? Aku sudah lebih dari baik-baik saja." Aku tersenyum. "Aku hanya menjalankan misi secara verbal di sana, Mama. Aku tidak akan menghadapi perang di medan tempur. Thalia janji tidak akan melakukan hal yang berat-berat."
Aku memegang erat kedua tangan Mama. Aku berusaha meyakinkan Mama agar bisa melepas ku pergi. Akhirnya Mama mengangguk, meski dengan wajah murung.
Mama membelai rambutku dengan lembut. Aku tahu, kandung atau bukan, yang namanya seorang ibu akan berat melepas pergi jauh anaknya. Hal yang sama terjadi dengan Bunda empat bulan lalu.
"Kapan jadwal keberangkatanmu, Nak?" Mama bertanya.
"Besok Ma, hari Kamis tanggal 22 Juni jam 8 pagi," aku menjawabnya sambil melihat tiket pesawat. Mama mengangguk-angguk paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Daughter
Teen FictionHidup dengan tanda tanya di setiap sudut kepala. Jawaban untuk semua tanda tanyaku terlalu jauh. Harus kupertaruhkan nyawaku untuk mendapatkan setiap jawaban. Keluarga, senjata api, uang, pertumpahan darah, dan pertemanan. Kupanjat semua tebing yang...