A Plan

124 64 19
                                    

͜✩ Jangan lupa buat komen, sekalian klik tombol bintangnya ya! Vote gratis kokk.
Don't do a plagiarism, i knew that your brain were better than me.

Happy Reading!

.

.

.

Aku menuangkan sesendok gula ke dalam cangkir. Suara melengking dari teko listrik menyantel di telingaku. Aku menekan tombol, mematikan aliran listriknya. Aku menuangkan air mendidih ke dalam cangkir. Uap panas mengepul keluar, lalu berpencar di udara. Aku mengaduk kopi hitamku dengan sendok teh. Kubawa cangkir itu keluar dari pastry milik Vezeella. Aku menyeruput sedikit kopi yang baru saja kuseduh dengan sendok. Aku mengecap rasa manisnya, lalu mengangguk kecil. Cukup.

Tiba-tiba saja Vezeella datang dari lorong. Ia mendekatiku yang masih sibuk mengaduk kopi.

"Kau buat apa?" Tanyanya.

Aku mengangkat cangkir kopiku, menunjukkan isi cangkir padanya. "Kopi."

"Ah, kamu suka kopi."

"Kau suka?" Aku menyeruput lagi kopiku.

Vezeella menggeleng pelan. "Aku tidak suka, rasanya pahit. Terakhir kali aku meminum kopi itu hanya beberapa tegak, buatan Bunda. Sebanyak apapun gulanya, masih tetap saja pahit. Aku tidak suka pahit."

Aku mengangguk paham. Itu selera. Tapi bagiku, pahitnya kopi adalah suatu hal yang berharga. Biar kurasakan pahit yang berada dalam hidupku di secangkir kopi itu.

Vezeella mengambil segelas susu dari dalam pastry. Aku berjalan sangat pelan, hendak pergi ke kamar sekaligus menunggunya.

"Kapan kita akan mendiskusikan 'kunjungan' itu? Nanti? Atau sekarang saja?" Vezeella datang dari belakangku, ia berjalan menyejajari langkahku.

"Tidak, nanti saja. Setelah kita menghabiskan minuman ini," aku mengangkat cangkirku, melakukan cheers dengan Vezeella.

Aku dan Vezeella terus berjalan menuju halaman belakang, tempat Vezeella sering duduk. Di sana ada dua bangku dan meja berwarna cokelat di tengahnya. Bangku itu menghadap langsung ke kolam ikan. Kami berdua duduk saja di sana.

Tumbuhan hijau berdiri di tepian koridor. Beberapa ekor kucing terlihat saling berlari kejar-kejaran di halaman. Angin sepoi-sepoi berhembus meniup rambut pendekku, membuat poni tipis di samping dahiku berpindah tempat menjadi di tengah.

"Oh? Aku tidak tahu kau punya poni," ucap Vezeella sambil meminum susunya.

"Aku sengaja menyembunyikannya. Aku suka poni, namun aku tak ingin memilikinya. Tapi poni ini sudah terlanjur ada sebelum aku potong rambut," ujarku sambil menyingkirkan poni.

"Ah... Sepertinya ada hal buruk yang terjadi, ya? Makanya kamu tidak mau punya poni dan potong rambut.."

"Begitulah," kataku singkat.

"Kau tahu? Aku juga pernah seperti itu, tapi tak kupotong rambutku."

"Kenapa?" Aku menoleh menatap Vezeella.

"Karena memang inilah aku. Seorang gadis berumur 19 tahun yang terlihat selalu ceria, tapi nyatanya kesepian. Aku pernah seolah tak dianggap seorang anak di sini. Satu-satunya anak generasi ke-6, yang seperti tak memiliki orang tua." Vezeella menghela napas.

Aku termangu. Ternyata apa yang selama ini orang ucapkan itu benar. Beberapa orang selalu menarik senyum untuk menutup lukanya.

"Begitulah, hidup memang selalu mengejutkan." Vezeella tertawa, getir.

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang