Happy Reading!
.
.
.
Aku membuka mataku yang masih berat. Tidurku sama sekali tidak nyenyak. Aku benar-benar tidak bisa tidur dengan tenang. Rasanya kepalaku pening. Aku teringat kembali kejadian semalam. Semuanya terekam begitu saja. Tak mungkin bagiku untuk melupakan semua itu. Sampai kapanpun.
Aku bangkit dari kasur. Aku memperhatikan sekeliling kamarku sedikit lebih kosong dari sebelumnya. Aku memperhatikan sekeliling. Beberapa barangku menghilang dari tempatnya. Di pojok kamar, berdiri dua buah koper. Keduanya itu milikku. Hei, kenapa koper itu di sana? Bukankah seharusnya di atas lemari? Aku langsung bergegas turun dari kasur. Aku keluar kamar.
Ada Bunda. Di tangannya ada dua piring makanan. Bunda melihatku lantas tersenyum padaku. Ia letakkan kedua piring itu di meja makan. Sudah ada Kak Will, Bang Chael dan Kak Noel di sana.
"Ayo, sini nak. Makan bareng-bareng sama Bunda." Bunda menepuk meja makan.
Sarapan pagi ini nasi goreng. Aku mengangguk, berjalan menuju meja makan.
Aku duduk di depan Bunda, di samping Kak Noel. Mereka semua mulai makan. Aku hanya diam. Aku tak selera makan, meskipun ini nasi goreng buatan Bunda yang aku rindukan. Mereka makan seolah tak ada yang terjadi tadi malam.
Bunda sadar akan apa uang aku pikirkan. Bunda menghentikan sejenak kegiatan makannya. Bunda mengelus-elus rambutku dengan lembut. Aku melihat ke arah Bunda.
"Menangis juga butuh energi, Thalia. Makanlah, semoga perasaanmu bisa lebih membaik."
Bunda masih dengan senyum cantiknya. Aku menurut. Kuambil sendok. Aku mulai menyuap nasi gorengku.
Seketika aku teringat kedua koperku yang diturunkan dari atas lemari. Aku buru-buru menghabiskan makanan di mulutku, lalu bertanya pada Bunda.
"Bunda, koper di kamarku kenapa diturunkan? Kita mau pergi kemana?"
Bunda diam, ketiga kakak laki-lakiku juga terdiam.
"Thalia, nanti setelah makan kamu siap-siap, ya. Pakai bajunya yang bagus, yang cantik."
Bunda menggenggam tanganku dengan erat. Ia tersenyum, tapi senyum yang dipaksa.
Aku tidak mengerti, tapi.. Baiklah. Aku mengangguk lagi.
***
Aku mematut diri di depan cermin. Kucermati dengan baik wajahku. Ayah berlebihan, aku tidak sebegitunya mirip Bunda. Aku justru lebih mirip dengan Ayah. Mataku, alis, hidung, bibir, semuanya. Bahkan caraku tersenyum. Aku mirip Ayah.
Aku mendekati koperku. Kubuka isinya dan, oh. Sudah penuh bajuku. Kupikir masih kosong. Tanganku menutup kembali koper itu. Tak jadi kumasukkan baju yang masih ada di lemari.
Selesai mematut diri, aku keluar kamar. Dahiku mengerut. Aku sudah siap, tapi kenapa yang lain tidak ada persiapan?
Aku melihat Bunda yang duduk di ruang tamu, dengan ketiga saudara laki-lakiku. Aku menghampiri mereka.
Bunda tersenyum lebar melihatku.
"Anak Bunda cantik sekali. Sudah besar, ya?" Bunda berdiri, kedua tangannya yang halus memegang kedua pipiku.
"Bunda.." Panggilku.
"Aduh, Bunda jadi ingat waktu kamu baru lahir. Saat itu kulitmu merah cerah, tak henti-hentinya kamu menangis kalau tidak ada Bunda. Bunda bahagia pernah memiliki anak perempuan seperti kamu, Thalia."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Daughter
Teen FictionHidup dengan tanda tanya di setiap sudut kepala. Jawaban untuk semua tanda tanyaku terlalu jauh. Harus kupertaruhkan nyawaku untuk mendapatkan setiap jawaban. Keluarga, senjata api, uang, pertumpahan darah, dan pertemanan. Kupanjat semua tebing yang...