Happy Reading!
.
.
.
Aku keluar dari lift. Seorang pengawal menyambutktu datang, itu Ten. Ia tersenyum ramah, lalu membungkuk. Aku balas tersenyum.
"Selamat siang, Nona Muda. Manis sekali Nona hari ini. Mari, saya antar."
Aku tertawa. Ten memimpin jalan, aku mengikutinya dari belakang.
Lima menit yang lalu Papa memintaku untuk datang menemuinya di arena tembak. Aku tidak tahu persis di mana lokasinya, jadi dia meminta Ten sebagai perantaranya.
Aku dan Ten berjalan ke luar gedung utama. Kami pergi ke gedung di sisi kiri. Aku hanya tau gedung itu untuk mess para pengawal. Selebihnya aku tidak tahu, belum ada yang memberitahuku.
Aku melangkah memasuki gedung itu, mengikuti arah Ten dari belakang. Setiap pintu masuk dijaga oleh pengawal. Kami melewati lorong panjang. Sunyi, tak ada suara. Bukan karena sepi orang, tapi lorong ini memang dibuat kedap suara. Suasana sunyinya berbeda.
Kami tiba di sebuah pintu di ujung lorong. Ten berhenti, aku ikut berhenti. Ten memberiku sebuah penutup telinga, aku menerimanya.
"Silakan masuk, Nona Muda. Tuan Mike menunggu anda di dalam." Ten mempersilahkan aku masuk.
"Kau tidak ikut masuk, Ten?"
"Tidak, Nona Muda. Tuan Mike hanya memintaku untuk mengantarmu."
"Baiklah." Aku mengenakan penutup telinga itu.
"Kalau begitu, saya permisi dulu."
"Ah, tunggu!" Aku menghentikan langkah Ten.
"Ya, Nona Muda?"
"Anu, bisakah kau memanggilku Thalia saja? Nona Muda... Terlaku berlebihan kudengar," titahku.
"Baiklah, Nona Thalia."
Ten mengangguk sambil tersenyum lebar. Lalu berbalik dan melangkah pergi.
Aku tertegun sebentar, lalu tertawa geli. 'Nona Muda' dan 'Nona Thalia' hampir tak ada bedanya. Oke oke, aku harus mulai terbiasa dengan panggilan Nona.
Aku membuka pintu ruangan di ujung lorong itu. Tidak ada suara, tidak ada orang. Ruangannya tidak begitu terang. Aku terus berjalan lurus ke depan.
Dor! Dor!
Suara tembakan pistol bersahut-sahutan. Aku berjingkat kaget. Meskipun aku mengenakan penutup telinga, suara tembakan itu tetap memekakkan telinga. Aku menutup telinga dengan tanganku walau sudah tertutup.
Aku melangkah lebih maju. Ah, ternyata Papa terburuk rak besi. Makanya pandanganku terhalang sehingga tidak bisa melihat Papa. Jauh empat meter di depan Papa, ada empat bantalan target uang berjejer menyamping.
Di sebelah Papa ada tiga orang lain. Kupikir mereka pengawal berhubung gedung ini memang mess para pengawal. Tapi ternyata bukan. Satu diantaranya wanita. Baju mereka juga non-formal seperti baju Papa. Mana ada, sih pengawal begitu, ada wanita pula?
Aku berjalan mendekat ke Papa. Papa sadar akan keberadaanku. Ia menoleh, lalu tersenyum padaku. Papa menghentikan kegiatan tembak-menembaknya.
"Kamu sudah sampai, rupanya. Datang sendirian?" Papa bertanya sambil melepas penutup telinganya.
"Iya, tadi Ten pergi begitu sudah mengantarku sampai depan pintu."
Suaraku menyita perhatian ketiga orang yang tadi di samping Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Daughter
Подростковая литератураHidup dengan tanda tanya di setiap sudut kepala. Jawaban untuk semua tanda tanyaku terlalu jauh. Harus kupertaruhkan nyawaku untuk mendapatkan setiap jawaban. Keluarga, senjata api, uang, pertumpahan darah, dan pertemanan. Kupanjat semua tebing yang...