Beginning Of Journey

263 149 53
                                    

Happy Reading!

.

.

.

"Kau, kau putri yang hilang!"

"Kau, kau beruntung! Orang yang kau anggap ayah itu seorang pembunuh!"

"Laki-laki itu, dia membawamu pergi dari orang tua kandungmu! Kau, saudara kemb-"

Dor!

Aargh! Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku ribuan kali. Sekeras apapun aku berusaha menghilangkannya, usahaku tetap tidak berhasil. Bayang-bayang kejadian kemarin masih terus menghantuiku.

Aku bangun dari rebahku. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Otakku masih mencerna kata-katanya. Aku menggigit kukuku. Aku gemas dengan kalimat terakhir. Kalimat itu terpotong gara-gara Papa. Ayolah, siapa saudara kembarku?

Aku keluar kamar menuju ruang tamu kamarku. Sebenarnya masih sama-sama kamarku, cuma aku bingung bagaimana cara menyebutnya. Kulihat Ten duduk di depan TV sambil memakan biskuit coklatku.

"Ten." Aku memanggilnya.

"Eh, anu... Maaf, aku tidak sadar mengambilnya." Ten langsung buru-buru menutup toples dan meletakkannya lagi di meja. Ia membersihkan tangannya dari remah-remah biskuit.

"Ngga papa, makan aja."

Ten mengangguk sambil tersenyum kaku. Tapi Ten adalah Ten, dia mengambil lagi toplesnya dan memakan biskuit coklatku.

"Ten, aku mau tanya, deh."

"Tanya apa, Nona?"

"Kalau ceritanya ada seorang anak yang kehilangan saudara kembarnya sejak kecil, lantas ia sudah dewasa, apa yang harus anak itu lakukan?" Aku bertanya pada Ten dengan kedok cerita.

"Kalau anak itu pintar pasti dia mencarinya di rumah sakit. Entah banyak atau sedikit, yang pasti ada jejaknya."

Ten menanggapiku tanpa menoleh dari televisi. Mulutnya terus mencomot biskuitku hingga setengah toples. Acara televisi itu membosankan bagiku. Aku jarang menonton TV. Yang sebulan memakai televisiku hanya Ten seorang, aku menyuruhnya memakainya jika dia mau.

Aku mulai berpikir. Benar juga, aku bisa mencari jejak-jejaknya di rumah sakit.

"Makasih, Ten!" Aku langsung berdiri dan berlari menuju pintu kamar.

Ten terdiam sejenak. Ia kaget secara tiba-tiba. Ia menutup mulutnya dengan tangan seraya menghadapku.

"A, anu, tapi aku tidak tahu betul, Nona. Aku hanya mengada-ada." Ten berbicara terbata-bata.

Aku berhenti dan berbalik ke arahnya. "Ngga papa, makasih, Ten!"

Aku benar-benar pergi keluar kamar. Ten bengong. Ia menepuk-nepuk mulutnya karena sudah kelepasan bicara.

Aku melangkah menuju kamar Fort. Pintunya terbuka sedikit, aku menyelonong masuk. Kulihat sekeliling. Kamar Fort benar-benar rapi tertata. Rapinya kamar ini terlepas dari pekerjaan tukang bersih-bersih rumah ini. Fort memang orang yang teratur, ia tidak suka sembrono.

Aku mencari-cari Fort di setiap sudut kamar. Tidak ada. Tidak ada tanda-tanda Fort berada di ruangan ini. Aku memilih untuk mencari barang itu sendiri. Aku butuh kendaraan. Hanya untuk aku, tidak membawa orang lain.

Mataku tak sengaja melihat ke arah gantungan baju. Sebuah benda kecil mengilap dengan seutas keychain berwarna merah tergantung di sana. Aku langsung mengambilnya tanpa berpikir panjang.

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang