Happy Reading!
.
.
.
3 Agustus 2023, Hôtel Paris Saint-Joseph.
Pagi membungkus kota. Para perawat dan dokter masih saja bekerja 24 jam lamanya. Rumah sakit sudah ramai, bahkan belum ada seperempat dari siang hari.
Aku terus berjalan di lorong rumah sakit. Aku menoleh kesana kemari mencari nomor kamar yang sesuai, kamar 107. Akhirnya aku menemukannya, kamar itu berada di ujung lorong.
Namun sebelum aku masuk ke kamar itu, sosok yang sangat kukenali keluar dari kamar 107 itu. Rambutnya coklat, matanya hitam legam. Ia lebih tinggi 11 senti dariku. Badannya tegak, garis wajahnya halus. Aku sontak menahan tangan orang itu. Ia mengenakan jas putih, dengan stetoskop tergantung di lehernya.
"... Ten?" Aku berbisik pelan memanggil namanya.
"Y-ya, Madame?"
Dokter itu menatapku dengan tatapan bingung. Persis sekali dengan cara Ten menatapku. Aku mau menangis rasanya. Lama sekali tak kulihat wajah Ten yang ceria, yang manis dengan gigi rapinya. Mata hitamnya tak pernah berubah, masih tetap sama.
Tapi mataku tertuju pada name tag di dada kiri dokter itu. 'Ken Van Persie'. Aku langsung melepas cengkeraman tanganku dari dokter itu. Bukan, ternyata dia bukan Ten.
"Ah, tidak apa-apa. Ken, kau dokter Ken, bukan?" Aku bertanya basa-basi.
"Iya, benar. Apa ada yang bisa saya bantu?" Dokter yang bernama Ken itu menawarkan bantuan.
Aku menggeleng sambil tersenyum. "Tidak, Monsieur, tidak apa-apa. Maaf sudah mengganggumu."
Dokter Ken mengangguk, lalu berbalik pergi.
Aku menghela napas berat. Kupikir aku akan bertemu Ten, kupikir ia masih hidup, dia selamat. Tapi nyatanya tidak. Oh ayolah, Thalia. Kau yang menyaksikan kematiannya dengan mata kepalamu sendiri, kau yang menutup matanya dengan tanganmu sendiri. Aku menyentuh liontin kalung yang tergantung di leherku, lalu tersenyum tipis.
Aku beralih membuka pintu kamar rumah sakit. Hawa dingin menguar, bau alkohol langsung tercium di hidung. Di ujung sana, seorang laki-laki duduk di bangsalnya. Ia menatap jendela rumah sakit, memandangi pemandangan di luar.
Aku mendekati orang itu. Pria itu sadar akan kehadiranku, ia langsung menoleh.
"Thalia..." Pria itu tersenyum, senyum yang jarang sekali kulihat.
"Ayah- tidak, Paman." Aku duduk di sampingnya. Matthew, Paman Matthew.
Paman Matthew langsung menggeleng tegas. Ia mengerutkan keningnya, dan menatapku dengan getir.
"Kumohon maafkan Ayah... Jangan panggil aku Paman, panggil aku Ayah. Aku adalah Ayahmu, Thalia..." Ayah berkata lirih. Matanya berkaca-kaca, ia menahan tangis.
Aku mengangguk pelan. Aku tak berani menatap wajah Ayah. Mukanya sudah tidak garang, tidak terpancar dendam lagi. Tapi aku masih teringat dengan kejadian tiga minggu lalu. Kata-kata dari Ayah masih melekat dengan jelas di telingaku. Aku takut, Ayah tidak sepenuhnya menyayangiku.
"Maafkan kata-kata Ayah kemarin, Nak. Ayah benar-benar tidak bermaksud seperti itu. Bagi Ayah, kau sudah seperti anak kandungku. Ayah tidak peduli apakah kau yang telah merenggut nyawa anakku atau tidak. Kamu tidak salah, Thalia. Ayahlah yang salah. Tolong lupakan kejadian kemarin, Ayah benar-benar menyesal..." Seolah tahu apa isi pikiranku, Ayah melontarkan kalimat-kalimat itu.
Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Sakitnya tidak seberapa dengan sakit hatiku. Aku memejamkan mata, berusaha menahan tangis. Lalu Ayah membelai kepalaku dengan lembut.
"Maafkan Ayah, ya?" Sekali lagi Ayah meminta maaf padaku.
Aku mengangguk, lalu memberanikan diri untuk menatap Ayah. "Iya, Ayah."
Ayah tersenyum, hatinya sudah lega.
Tok, tok, tok!
Pintu kamar rumah sakit diketuk dari luar. Aku dan Ayah spontan menoleh ke sumber suara, melirik dari ujung mata. Ayah sudah bergerak, beringsut turun dari kasur. Tapi aku menahan gerakannya sambil menggeleng.
"Biar aku saja, Ayah," ucapku.
Aku berdiri, berjalan menuju pintu kamar. Kubuka pintu itu perlahan. Kukira akan ada seorang suster atau dokter yang akan mengecek kondisi Ayah di dalam, tapi ternyata tidak. Di luar kosong, tidak ada siapapun. Aku berniat langsung menutup pintu, namun sebuah benda kotak kecil merebut atensiku.
Di lantai, ada sebuah benda kotak dengan ukuran telapak tangan. Warna kotak itu beludru, dengan pita hitam yang melilitnya.
Aku mengambil kotak itu, lalu membukanya di tempat. Seharusnya kotak itu dikirim untuk Ayah, kan, dan harusnya aku memberikan itu kepada Ayah dulu. Tapi entah kenapa aku jadi kepo sekali dengan isinya.
Kutarik simpul ikatan pita itu, lalu kubuka penutup kotaknya. Kupikir akan ada bingkisan cokelat, atau makanan kecil di dalamnya. Tapi dugaanku salah.
Di sana ada setumpuk foto yang sudah di cetak, dan bagian paling atas ada kertas bertuliskan dengan tinta merah.
"Untuk Thalia Minareen Dé Triegor, dan bukan untuk 'Ayah'nya."
Aku menautkan kedua alisku. Siapa pengirim kotak ini? Darimana si pengirim ini tahu kalau kamar ini adalah kamar Ayahku, dan ada aku di sini? Aku jadi semakin penasaran, dadaku berdegup kencang.
Aku mengambil tumpukan foto itu, dan kulihat satu persatu isinya. Foto itu seperti diambil dari jarak jauh. Kualitas fotonya jernih sekali, tidak buram. Jadi isi foto itu terlihat jelas.
Ini adalah foto-fotoku selama delapan bulan terakhir. Ada fotoku saat Bunda melepasku pergi ke Perancis dari rumah. Di sana terlihat wajah Kak Will, Abang Chael dan Kak Noel. Ada Bunda dan Charlie juga di situ. Aku terus membalik foto itu satu-satu. Ada foto saat aku tiba di rumah Triegor, saat aku melawan Mendezo, saat tenggelam, di rumah sakit, di Beijing, bahkan saat berjalan berdua dengan Nakhun. Saat tragedi pertempuran antara M&K co. dan Triegor, ada pula di situ. Ada gambar saat Papa dan Ayah bertengkar, saling berteriak sahut menyahut.
Foto itu seperti gambar kejadian urut sejak pertama aku terlibat dengan Triegor. Benar-benar lengkap, seolah setiap hari orang itu memotretku dari jauh. Dimana pun dan kapanpun. Paparazzi.
Aku terkejut bukan main. Siapa yang memotret kami? Bukankah waktu itu tidak ada tanda-tanda penguntit? Kalau itu adalah Ten, dia bahkan juga ada dalam foto itu. Jika itu adalah ulah Ayah sebagai oknum Jas Biru, untuk apa dia memotret kejadian saat semuanya bertengkar, yang bahkan dirinya pun ada di sana?
Aku tiba di foto terakhir. Di situ ada sebuah gambar. Gambar yang paling tidak pernah kuduga akan mendapatkannya di waktu dan tempat yang sama.
Di foto itu, terlihat aku yang sedang duduk di samping bangsal Ayah. Foto saat Ayah berbicara dengan mata berkaca-kaca, saat Ayah sedang menggenggam kedua tanganku.
Itu foto tadi, kejadian tadi. Dan foto itu bukan dari jarak jauh. Itu satu-satunya foto dengan jarak yang sangat dekat.
Aku reflek menoleh ke arah bangsal Ayah. Kutatap dengan tajam vas bunga lavender di meja pojok sana.
Kutatap terus vas itu sambil menutup kotak dari orang anonim, dan kututup rapat-rapat pintu kamar ruang inap.
Mungkinkah ceritaku selesai di sini?
.
.
.- Is It End? -
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Daughter
Teen FictionHidup dengan tanda tanya di setiap sudut kepala. Jawaban untuk semua tanda tanyaku terlalu jauh. Harus kupertaruhkan nyawaku untuk mendapatkan setiap jawaban. Keluarga, senjata api, uang, pertumpahan darah, dan pertemanan. Kupanjat semua tebing yang...