La Cosa Nostra

349 195 31
                                    

Happy Reading!

.

.

.

Mobil Limosin yang kutumpangi melaju kencang di tengah ramainya jalanan. Musik klasik diputar di dalam mobil. Tidak ada percakapan apa-apa di dalam. Rasanya masih canggung. Seperti masih tabu bagiku untuk mengakrabkan diri dengan Papa dan Tante Natta. Andai ada Fort disini, pasti aku akan sibuk berdebat dengannya.

Aku menatap ke luar kaca mobil. Lampu-lampu kuning menerangi jalan. Satu-dua motor mengebut, menyalip mobil Limosin kami. Tiba-tiba aku teringat malam tiga hari yang lalu. Waktu dimana Ayah dan Bunda bertengkar, dan aku ada di sana.

Tidak pernah terbayang padaku bahwa hidupku akan sekacau ini. Mataku mulai berair. Aku menggeleng. Tidak, aku tidak boleh cengeng, aku harus bertahan.

"Thalia ngga papa?"

Tante Natta sadar akan sikapku. Aku cuma mengangguk.

"Ngga papa kok, Tante. Thalia cuma melamun aja," ujarku.

Aku tersenyum, Tante Natta mengangguk sambil mengelus pundakku.

Delapan menit, mobil sampai di sebuah gedung besar. Ini seperti hotel. Di depan pintu masuknya tergelar karpet merah. Mobil Limosin berhenti di depan sana. Fotografer-fotografer berbaris, memotret setiap momen yang ada tiap detik.

Seseorang membukakan pintu mobil. Papa turun dengan jas putih dan wibawanya. Tante Natta turun setelah Papa. Mereka tersenyum ke arah kamera.

Aku masih diam di dalam mobil. Kutarik napasku panjang-panjang, lalu menghembuskannya. Kuberanikan diri untuk turun dari dalam mobil. Kaki kananku keluar, kilat cahaya dari kamera SLR langsung menyambutku.

Tante Natta menggandeng tanganku.

"Tersenyumlah," katanya.

Baiklah, aku berusaha tersenyum di tengah hujan cahaya. Kami bertiga melangkah masuk ke dalam gedung.

Lantai satu gedung ini sepi, hanya ada beberapa pengawal yang masih bisa dihitung dengan hitungan jari. Kami terus menuju lift, lalu naik ke lantai dua, tempat dimana acara bisnis Papa digelar.

Pintu lift terbuka. Isinya hanya lorong besar yang besar. Ada beberapa pintu di sisi kanan dan kirinya. Masing-masing pintu dijaga oleh dua orang pengawal. Aku, Papa dan Tante Natta berjalan ke pintu pertama di sisi kanan.

Salah satu pengawalnya menghentikan kami. Ia hendak memastikan identitas tamu. Papa menunjukkan pin di kerah jas sebelah kanannya. Itu pun khusus dengan lambang keluarga, Dé Triegor.

Pengawal itu mengangguk, ia bergeser, lalu membuka pintunya. Kami bertiga masuk, dan kami disambut dengan musik klasik yang berayun-ayun.

Aku terpana. Ruangan ini begitu besar. Acara kecil matamu, ini acara besar. Ruangan ini ramai dengan orang-orang elit, isinya orang konglomerat semua.

Ruangan ini dibuat terang oleh empat buah lampu kristal besar di langit-langit. Meja-meja bundar dan kursi berjejer rapi berkelompok. Karpet merah terbentang luas ke depan sana. Konsep ruangan ini bertemakan klasik, sama seperti musiknya. Aduhai, rasanya seperti di film-film.

Seseorang berjas merah tua menghampiri kami. Ia menyapa Papa dan Tante Natta. Ia menyambut kami dengan ramah. Sepertinya ia rekan bisnis Papa. Acara ini ia uang menyelenggarakannya. Aku menguping sedikit-sedikit pembicaraan mereka. Ah, ternyata ini khusus rekan-rekan yang bekerjasama dan para pemilik saham perusahaan ini.

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang