Birth day

223 119 38
                                    

͜✩ Jangan lupa buat komen, sekalian klik tombol bintangnya ya! Vote gratis kokk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

͜✩ Jangan lupa buat komen, sekalian klik tombol bintangnya ya! Vote gratis kokk.
Don't do a plagiarism, i knew that your brain were better than me.

Happy Reading!

.

.

.

Hujan deras masih setia membasahi tanah. Aku terpana sedang Nakhun kehujanan. Nakhun berjalan mendekatiku, memilih untuk ikut berteduh di bawah payung merah yang ia bawa.

Tangannya menggenggam pergelangan tanganku. Ia membawaku yang sedang diam saja untuk berjalan. Tangannya yang masih hangat menggandeng tanganku yang  sudah pucat dingin. Aku ikut melangkah menyeimbangi jalannya.

Aku memperhatikan baju dan tubuhnya yang basah. Aku menghentikan langkahku, yang otomatis membuat Nakhun juga ikut berhenti.

"Ada apa, Thalia?" Ia bertanya padaku. Aku menggeleng. Nakhun tersenyum, lantas meneruskan jalannya.

"Kenapa kamu memayungiku?" Aku bertanya polos.

"Biar kamu nggak kehujanan." Nakhun berbicara tanpa melihat ke arahku, ia tetap menghadap ke depan.

"Tapi kamu jadi kehujanan gara-gara aku."

"Nggak papa. Kalau kamu basah, aku juga basah. Kalau kamu sakit, aku juga sakit. Semoga saja hanya segini tidak membuatmu sakit," Nakhun tersenyum.

Aku diam menunduk. Nakhun masih setia menggenggam tanganku. Ia menyalurkan rasa hangat, membuatku sedikit membaik.

"Bagaimana kamu tahu aku di sini? Kamu tanya Ten, ya?" Tanyaku.

"Memangnya Ten tahu kalau kamu ke sini? Bukannya tadi kamu langsung pergi tanpa bilang apa-apa ke siapapun?"

"Tahu darimana?"

"Tadi aku berada di rumahmu. Papa sedang berkunjung, menemui Ayahmu. Aku bosan, jadi aku memilih untuk ke kamarmu. Belum sempat tiba disana, kamu sudah terburu-buru pergi, kamu nggak sadar ada aku di situ."

Aku ber-oh panjang. "Bisakah kamu memanggil ayahku Papa juga? Maksudnya, katakan 'Papamu', jangan 'Ayah'. Nanti aku tertukar."

"Eh? Kenapa?" Nakhun menoleh ke arahku.

"Nggak papa, lakukan saja. Jangan dipikirkan." Aku kembali menatap lurus ke depan.

Aku dan Nakhun berjalan sekitar dua kilometer dari rumah. Aku sudah terbiasa berjalan jauh bersama abang-abangku dulu, jadi aku tidak merasa keberatan jika harus berjalan berkilo-kilometer jauhnya. Mungkin Nakhun juga terbiasa. Kami berdua berjalan santai hingga tiba di depan gerbang rumah.

Tanpa kuketahui, mobil sedan milik Nakhun terparkir di depan rumah sakit Saint-Joseph. Mobil birunya basah terguyur hujan. Nakhun meninggalkan mobilnya di sana. Ia memilih berjalan sambil terus memayungiku hingga tiba di rumah.

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang