Concious

208 96 21
                                    

͜✩ Jangan lupa buat komen, sekalian klik tombol bintangnya ya! Vote gratis kokk.
Don't do a plagiarism, i knew that your brain were better than me.

Happy Reading!

.

.

.

Bunyi elektrokardiograf mengisi hening nya ruangan, ditemani oleh suara tetes cairan infus. Sembilan hari sepuluh malam aku masih tidak sadarkan diri. Tidak ada yang bisa kudengar, tidak ada yang kulihat, dan tidak ada yang kurasakan. Aku terkurung di bawah alam sadarku. Terpenjara dalam gelapnya sakit.

Ten duduk manis sambil meringkuk. Ia menekuk kedua tangannya, lalu menenggelamkan kepala di tangan. Ia sudah berjam-jam dalam posisi itu di sampingku. Entah tertidur, entah melamun, ia tidak bergerak sama sekali. Bajunya sudah tidak lagi kemeja berwarna putih dengan campuran darah, ia sudah berganti pakaian dengan kemeja hitam. Hampir dua puluh empat jam ia terus berada di sampingku selama sepuluh hari terakhir. Ia terus menungguku bangun, kapanpun waktunya.

Agaknya ia tertidur. Sebelah tangannya menggenggam telapak tanganku yang pucat dingin -tapi tidak kaku. Ia berusaha menyalurkan kehangatan lewat sentuhan tangan, walau sepertinya tangannya yang mulai kedinginan.

Pintu ICU terbuka. Seorang pria muda berumur dua puluh tahun datang dari luar. Tangannya membawa keranjang buah -ia selalu membawanya tak peduli siapapun yang memakannya. Rambutnya dibelah dua keatas, lengan kemeja birunya ia gulung hingga ke siku, mata birunya menatap hangat sekeliling ruangan. Nakhun berjalan mendekati Ten. Ia meletakkan keranjang buah di atas meja di samping Ten. Nakhun menepuk-nepuk pundak Ten, membangunkannya.

Ten tersentak, kepalanya mendongak. Ia menoleh ke arah Nakhun sambil mengerjap-ngerjapkan matanya yang silau. Sadar kalau itu Nakhun, ia langsung berdiri tegak.

"Maafkan aku, Tuan. A, aku ketiduran. Anda bisa menemani Nona Thalia di sini." Ten membungkuk dengan kikuk, lalu berjalan pergi keluar ruangan.

"Tunggu, Ten!" Nakhun menahan gerakan Ten.

"Ya, Tuan?"

"Ambil ini, bawa beberapa. Aku tahu kau belum makan sejak semalam."

Nakhun mengulurkan tangan, ia menyodorkan dua buah apel dan anggur di tangannya. Ten mendekat, lalu menerimanya dengan ragu-ragu.

"Makanlah, istirahat yang cukup. Aku sudah izin orang tuaku dan Thalia untuk menjaganya." Nakhun meyakinkan Ten.

Akhirnya Ten mengangguk, ia membuka pintu kaca buram ruang ICU sambil membawa buah di tangannya.

Nakhun duduk di sampingku, ia mendudukkan badannya di kursi Ten duduk tadi. Nakhun mengulurkan tangannya, ia mencengkeram telapak tanganku dengan lembut. Ia baru masuk ke rumah sakit, tangannya masih hangat. Mata birunya menatap mataku yang masih tertutup rapat. Jauh dalam hatinya ia berharap bisa bersitatap dengan mata cokelat yang selalu menyala terang saat terkena cahaya.

Ia menunduk, berulang kali menarik napas dalam-dalam.

"Sudah lebih dari seminggu kau terlelap, Thalia. Kau sekarat, koma sejak sepuluh hari lalu. Tak bisakah kau bangun walau sekedar menatap sekitar? Semua orang cemas, semua orang menunggu kehadiranmu." Nakhun menghembuskan napas pelan.

"Kau harus bangun, Thalia. Kau gadis yang kuat, aku tahu itu. Tidakkah kau lihat orang-orang dengan sabar menunggumu membuka mata? Mereka semua terlelap di sampingmu. Posisi di sebelahmu tidak pernah kosong walau hanya sebentar, kami semua selalu berada bersamamu, di sampingmu. Aku sudah membawakan stroberi, buah kesukaanmu. Kalau kau bangun, kau bisa meminta ibumu untuk membuatkanmu jus," Nakhun berkata patah-patah sambil mengatur napasnya.

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang