Papa

304 164 36
                                    

Happy Reading!

.

.

.

Aku menarik napas, lalu kembali menyelam. Menarik napas lagi, menyelam lagi. Itu terus kulakukan berulang kali hingga sampai ke ujung kolam. Aku naik, duduk di pinggir kolam. Aku tersengal, kutarik nafasku dalam-dalam.

Aku meraih botol minum yang ada di sampingku. Aku menenggak airnya sampai habis setengah botol. Aku melepas kacamata renangku.

Seseorang berdiri di sebelahku. Aku mendongak ke atas. Ia menatapku dengan hangat sambil tersenyum. Aku menatapnya balik, tetap dengan lembut walau tanpa ekspresi.

"Nggak capek, bolak-balik berenang dari tadi?" Tante Natta bertanya halus padaku.

"Nggak, masih kurang," kataku.

"Jangan terlalu keras terhadap dirimu sendiri, Thalia. Nanti kamu bisa sakit."

Aku menggeleng. Tidak. Aku harus tetap melanjutkan semuanya.

"Aku mengerti perasaanmu, Thalia. Kita sama. Dulu sebelum aku menjadi bagian dari keluarga ini, aku melakukan hal yang sama. Semua yang ada di rumah ini membuatku stress. Kau tahu? Aku nyaris pergi dari sini. Namun Mike menahanku. Papamu itu, dia meyakinkanku bahwa aku pasti bisa bertahan di sini."

Tante Natta bercerita padaku. Ia ikut duduk di tepi kolam, menyemplungkan kedua kakinya ke dalam air hingga betis. Aku menatapnya serius.

"Bertahanlah, Thalia. Aku tahu kamu bisa. Aku akan selalu berada di sampingmu." Tante Natta tersenyum padaku. Ia mengelus pundakku, lalu kembali berdiri.

Entah kenapa rasanya hatiku melunak. Tante Natta serius soal tadi. Dia tidak mengarang cerita semata-mata untuk menghiburku. Ia mengatakannya dengan tulus.

Tante Natta melangkah menjauh dariku.

"Terima kasih, Mama."

Tante Natta terdiam. Ia buru-buru berbalik ke arahku. Ia seolah tak percaya, apakah tadi dia salah dengar? Atau malah berhalusinasi?

Aku tersenyum padanya. Aku berdiri, meraih botol minumku dan pergi meinggalkan area kolam renang. Tante Natta masih diam tak berkutik dari tempatnya. Matanya berkaca-kaca, ia tersenyum haru.

Dia bukan Tante Natta lagi. Dia Mama, ibu keduaku.

***

"Papa dimana, Ten?" Aku bertanya padanya.

"Tuan Mike sedang berada di runah tamu, Nona Thalia. Dia sedang mengurus rekannya." Ten berkata padaku sambil membetulkan handphoneku yang rusak.

"Sepertinya Nona harus membeli handphone yang baru. Ini sudah tidak bisa dibetulkan lagi, LCD dan IC Powernya sudah rusak total." Ten berkata sambil menghela nafas. Ia mengelap keringat di dahinya.

Itu ulahku. Aku tidak sengaja membanting ponsel pemberian Kak William saat ulang tahunku yang ke delapan belas. Ternyata ponselku terselip di bawah buku yang kubanting empat hari lalu. Ponselku tertindih meja yang sengaja kuterbalikkan. Layarnya retak parah. Aku menemukannya saat membereskan kamarku yang berantakan.

"TEENN!!" Aku berteriak histeris.

"Y, ya Nona? Ada apa? Nona terluka lagi?"

"Hp.. Hpku rusak, Ten.. Layarnya pecah... Tidaaakk!!" Aku merengek.

"Sudahlah Nona, tidak perlu menangis begitu. Aku pernah beberapa kali memperbaiki ponsel yang rusak, kurasa aku bisa memperbaikinya."

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang