͜✩ Jangan lupa buat komen, sekalian klik tombol bintangnya ya! Vote gratis kokk.
Don't do a plagiarism, i knew that your brain were better than me.Happy Reading!
.
.
.
Aku mengusap wajah dengan kedua tanganku yang basah oleh keringat dingin. Aku menunduk, memungut kertas yang tadi tak sengaja kujatuhkan. Aku membaca ulang untuk kedua kalinya.
Benarkan aku tidak salah baca? Dokumen ini pasti sudah dimodifikasi, pasti tes ini salah. Dokter yang menangani tes DNA-ku salah besar. Aku yakin ia salah memasukkan helai rambut. Aku membaca lagi isi dari kertas itu.
Tidak ada yang berubah. Aku tidak salah baca. Aku beranjak dari dudukku, menyambar amplop cokelat dan memasukkan kembali dokumen yang tadi kubaca. Aku bergegas keluar dari kamar.
Aku turun menuju lobi lewat lift. Aku berjalan cepat menuju gerbang rumah. Aku tidak mempedulikan orang-orang yang kebingungan melihatku.
"Buka pintunya." Aku memerintahkan salah seorang pengawal yang berdiri di dekat gerbang.
Pengawal itu menoleh kesana-kemari. Ia melihatku datang sendirian, tanpa Ten, tanpa Papa, tanpa Fort atau Mier, tanpa siapapun. Ia ragu-ragu mau bergerak, tapi ujung-ujungnya tetap diam juga.
"Buka pintunya!" Aku memerintahkannya sekali lagi. Geram rasanya. Tak tahukah ia sekarang ini aku dalam kondisi genting?
Pengawal itu dengan kaku mengangguk, lalu dengan tergopoh-gopoh ia membukakan gerbang berat setinggi lima meter itu.
Aku melangkah keluar gerbang. Aku panik. Aku tidak terpikirkan menggunakan motor Fort. Aku bahkan tidak mengenakan jaket kulit dan pakaian hitam-hitamku. Bajuku masih dress warna-warni putih dan merah jambu, menjuntai panjang hingga ke atas lutut. Aku berjalan menuju jalan besar.
Orang-orang tulen Perancis berlalu-lalang sambil menenteng barang bawaannya masing-masing. Beberapa mengenakan syak tipis di lehernya.
Sebuah mobil (warna taxi paris) melintas dari ujung jalan sana. Aku menghentikan taxi itu sebelum melabas pergi melewatiku. Taxi itu berhenti, aku membuka pintunya dan duduk di belakang.
"Tolong bawa aku menuju rumah sakit Paris Saint-Joseph, segera," Aku berkata sambil terburu-buru. Supir taxi itu mengangguk nurut.
Mobil taxi berjalan membelah ramainya jalan raya, melewati puluhan orang yang berjalan santai —tapi cepat— di trotoar.
Burung-burung merpati terbang dari satu tempat ke tempat lain. Mereka mencari makan, mendatangi beberapa orang yang membawa roti (nm roti panjang) untuk dibagikan ke mereka. Paruh mereka mematuk-matuk lantai, memakan remahan roti yang orang-orang tebarkan di lantai trotoar.
Mobil terus melaju menuju rumah sakit, hingga 8 menit kemudian tiba di depan rumah sakit itu. Aku memberikan selembar uang (harga taxi) euro kepada Sang Supir. Supir itu terlihat mencari-cari uang kembalian di kantungnya.
"Tidak usah, ambil semua." Aku membuka pintu taxi, lalu melengos keluar.
"Terima kasih, Madame!" Supir itu berterima kasih dari dalam mobil. Aku mengangguk kecil, lalu berlari masuk ke dalam rumah sakit.
Belasan orang di dalam melihatku dengan tatapan heran. Dengan tergesa-gesa aku berlari menuju ruang labolatorium.
Seorang perawat wanita memang tanganku yang sedang berlari, mencegat. Aku mengerutkan kening. Apa yang wanita ini lakukan hah?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Daughter
Fiksi RemajaHidup dengan tanda tanya di setiap sudut kepala. Jawaban untuk semua tanda tanyaku terlalu jauh. Harus kupertaruhkan nyawaku untuk mendapatkan setiap jawaban. Keluarga, senjata api, uang, pertumpahan darah, dan pertemanan. Kupanjat semua tebing yang...