31. Hamper Khilaf

4.5K 249 25
                                    

Anisa terkejut bukan main. Rasanya ia hampir pingsan saat mendengar ucapan Imam barusan. Namun gadis itu berusaha untuk tidak terbawa emosi.

"Maaf, Pak. Itu gak lucu," ucapnya. Ia pikir Imam hanya bergurau.

"Aku serius, Nis. Bahkan aku sudah bicara dengan papah kamu dan telah mendapat restu darinya," jelas Imam.

Anisa sampai ternganga setelah mengetahui bahwa Imam telah meminta restu pada Yaqub. Ia merasa seperti mimpi karena tak pernah menyangka Imam akan 'melihatnya'.

"Kalau kamu setuju, kita bisa menikah setelah kuliahmu selesai," ucap Imam lagi.

"Maksudnya apa ya, Pak? Saya masih ingat betul terakhir kali Bapak masih berhubungan dengan Mbak Yasmin. Tapi kenapa tiba-tiba sekarang mengajak saya untuk menikah?" tanya Anisa.

Saat ini hati Anisa sedang berdebar-debar tak karuan. Dilamar oleh orang yang dicintai tentu merupakan impian banyak orang.

"Maaf jika terkesan mendadak. Tapi aku sudah yakin dengan keputusanku ini. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal lain!" ucap Imam.

"Tapi tidak semudah itu untuk percaya semua ini, Pak. Apalagi saya tahu betul Bapak sangat mencintai Mbak Yasmine. Bahkan waktu itu Pak Imam sampai membentak saya karena lebih percaya pada Mbak Yasmin," ujar Anisa.

"Itu dulu, Nis. Waktu aku belum sadar. Tapi sekarang aku sudah yakin kalau kamu yang terbaik untukku," ucap Imam. Ia berusaha meyakinkan Anisa.

"Entahlah. Aku masih bingung dan sulit untuk percaya. Selama ini aku memang mencintai Bapak. Tapi aku sadar bahwa ada wanita lain di hati Bapak. Aku hanya khawatir Pak Imam ingin menikahiku sebagai pelarian," ucap Anisa, sambil menunduk.

Melihat Anisa begitu sulit diyakinkan, Imam pun berlutut di hadapannya. Ia menyentuh kedua lutut Anisa.

"Nis! Maaf jika sikapku selama ini telah membuatmu ragu. Tapi aku yakin ini bukan hanya pelarian. Jujur, sebenarnya sebelum dia muncul lagi, aku sudah goyah. Kamu telah mengusik hatiku. Tapi setelah menemukan fakta itu, aku jadi semakin yakin," ucap Imam.

"Jangan seperti itu, Pak! Bagaimana pun Bapak adalah dosen saya. Tidak pantas seorang dosen berlutut di hadapan mahasiswanya," ucap Anisa. Ia meminta Imam untuk berdiri.

Imam menggelengkan kepala. Ia sangat frustrasi membayangkan Anisa didekati oleh Yusuf. Sehingga kali ini ia sedikit memaksa.

"Tidak! Aku tidak akan berdiri jika kamu belum menjawab," ancam Imam.

Anisa heran mengapa sikap Imam jadi seperti itu. "Tapi tidak semudah itu, Pak. Saya butuh waktu untuk mencerna semua ini," sahutnya.

"Sampai kapan?" tanya Imam.

"Entahlah. Saya masih bingung. Yang pasti saya masih belum yakin dengan perasaan Bapak," jawab Anisa.

"Oke! Kalau kamu masih belum percaya, aku bisa membuktikannya. Kamu mau bukti seperti apa?" tanya Imam.

Anisa sangat gugup berada di posisi seperti itu. Dulu Imam selalu menghindarinya. Terakhir kali, meskipun hubungan mereka sempat dekat, tetapi mereka tak pernah sedekat ini.

Sekarang posisi wajah mereka sejajar. Mata Imam menatapnya dalam-dalam. Membuat hati Anisa berdebar tak karuan.

"Eum ... mungkin untuk sementara Bapak bisa membuktikan keseriusan dengan sikap lebih dulu. Jika sudah terbukti, baru saya akan menjawab," ucap Anisa.

"Apa sebuah pernikahan bukan bukti?" tanya Imam lagi.

Pertanyaan itu membuat Anisa semakin tercekat. Kepalanya berdenyut membayangkan dirinya menikah dengan Imam.

"I-iya ... tapi saya masih takut, Pak. Mohon mengerti!" pinta Anisa.

Imam menghela napas. Ia memberanikan diri untuk menggenggam tangan gadis itu.

Deg!

Jantung Anisa hampir lepas kala tangannya digenggam. Ia dapat merasakan bahwa tangan Imam keringan dingin. Terlebih ketika tangan itu ditarik ke dada Imam.

"Aku hanya lelaki normal. Tidak mungkin jantungku berdebar dengan cepat seperti ini jika aku tak memiliki perasaan untukmu," ucap Imam, sambil menatap Anisa.

Tatapan itu membuat Anisa merasa sesak. Iangsung menarik tangannya, kemudian bergeser ke samping dan langsung berdiri.

"Lebih baik kita bahas nanti saja, Pak!" ucapnya. Ia sangat khawatir dirinya lepas kendali. Sehingga Anisa memilih untuk menghindari Imam lebih dulu.

"Kapan?" tanya Imam saat Anisa hendak membuka pintu. Kemudian ia mendekat ke arah gadis itu.

Anisa pun balik badan saat hendak bicara. "Pak!"

Namun ia sangat terkejut karena ternyata Imam berdiri tepat di belakangnya. Sehingga Anisa langsung mundur dan terjebak di antara pintu dan Imam.

"Apa?" tanya pria itu.

Kedua tangan Anisa mengepal. Ia sangat gelisah karena posisi mereka saat ini begitu dekat. Bahkan Anisa tak berani menatap pria itu.

Imam yang kemarin malam sempat melihat Anisa tak mengenakan baju pun mulai gelap mata. Pikirannya sedang kalut karena Yusuf semakin gencar mendekatinya.

Sebenarnya Imam trauma karena telah dikhianati oleh Yasmin. Sehingga ketika menyadari ada wanita yang benar-benar mencintainya, Imam ingin segera 'mengikat' wanita itu. Ia sadar dicintai lebih membahagiakan dari pada mencintai.

Hal itulah yang membuat Imam takut kehilangan Anisa. Ia akan menyesal jika sampai gadis itu direbut oleh pria lain. Sebab ia tahu betul bagaimana ketulusan cinta Anisa terhadapnya.

"Pak! J-jangan seperti ini," ucap Anisa, gugup. Ia berusaha mendorong dada Imam.

Namun tangannya malah digenggam oleh Imam kembali. Anisa pun menoleh ke arahnya dan Imam langsung mendekatkan bibirnya ke bibir Anisa dengan begitu cepat.

Set!

Anisa langsung memejamkan mata degan sangat erat. Ia sudah tidak sanggup lagi menahan dirinya. Ia pun pasrah atas apa yang akan Imam lakukan terhadapnya.

Akan tetapi, Imam sadar dan tidak ingin menodai cinta mereka. "Tolong jangan uji aku lagi ya, Nis! Aku lelaki normal bisa khilaf kapan saja. Lebih baik kita segera menikah dari pada nanti kita sama-sama khilaf," ucap Imam. Kemudian ia memundurkan wajahnya.

Imam balik badan dan langsung mengusap wajahnya. "Astaghfirullah!" ucapnya. Ia berusaha menyadarkan dirinya yang hampir saja melewati batas itu.

"S-saya permisi, Pak," ucap Anisa, gugup. Ia langsung pergi dari ruangan itu. Anisa seperti maling yang sedang dikejar-kejar. Gadis itu masih shock atas apa yang hampir saja terjadi barusan.

"Ya ampun, Mam! Kenapa kamu jadi seperti itu?" gumam Imam. Ia menyesali perbuatannya sendiri.

Brug!

Anisa sampai tidak sadar bahwa dirinya membanting pintu kamarnya. Ia bersandar di balik pintu kamar untuk mengendalikan dirinya.

"Aku masih belum percaya atas apa yang baru saja terjadi," gumamnya dengan tatapan kosong. Kemudian tubuhnya merosot karena kakinya lemas.

Ia menyentuh bibirnya yang hampir saja dicium oleh Imam. Bahkan belum bersentuhan pun ia seolah sudah dapat merasakannya. "Ya ampun, Anisaaaa! Kenapa sih kamu gak pernah bisa mengendalikan diri kalau sama dia?" gumamnya.

Anisa kesal karena merasa terlalu lemah jika berhadapan dengan Imam.

"Tadi pake tutup mata pula. Apa kata dia nanti kalau tau aku nutup mata? Hiks," keluh Anisa. Ia sangat malu karena tadi malah pasrah saat Imam hendak menciumnya.

***

Apa kabar, semuanya? Semoga sehat selalu, ya.

Maaf banget baru muncul lagi. Cuaca yang gak menentu, aku sekeluarga jadi gantian sakit. Mohon pengertiannya, ya. Terima kasih masih sabar menanti.

See u,

JM.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang