3. Meniti hari

1.1K 139 23
                                    

👑👑👑

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

👑👑👑

"Sekarang cerita, siapa dia dan kenapa dia kukuh bener pengen nemuin elu?" Dwi kembali menghampiri Catur setelah menyeduh Teh di dapur.

"Jadi dia Bapak tiri gue."

"Ohok!" Baru menyesap sedikit minumannya, Dwi malah tersedak setelah mendengar penuturan catur yang mengagetkan.

Catur memberikan selembar tissue yang ada di sampingnya. Dwi menerima itu dan mengelap bibirnya setelah meletakkan kembali tehnya.

"Ibu kandung gue udah meninggal 6 bulan lalu karena sakit." Saat sibuk mengelap bibir dan membersihkan tenggorokannya Dwi kembali tertegun atas fakta yang dituturkan Catur.

"Sebelumnya semua baik-baik aja." Bibir Catur sudah melengkung. Seperti mengorek luka yang bahkan belum sembuh.

"Sampai Mas Trikun harus kerja di luar kota untuk bayar hutang pengobatan Ibu." Dwi menangkap guratan ragu pada wajah catur yang kini menggosokkan kedua lututnya gusar.

"Awalnya gue ga ngeh kalo misalnya bapak tiri gue agak lain. Sampai suatu hari gue memergoki dia,"
Tangan Catur berpindah dari lutut dan menutup wajahnya.

"ngintip gue mandi."

Mendengar itu nafas Dwi tiba-tiba terdengar berat. Dia sampai tidak bisa berkata-kata setelah mendengar ini.

Selain tidak punya sopan santun, Pria sore tadi ternyata tidak punya moral dan bisa jadi seorang kriminal.

"Terus?"

"Paniklah gue," Catur menarik ingusnya agar tidak keluar karena air matanya sudah di pelupuk mata.

"Ga nunggu Ina inu gue langsung kabur dari rumah bawa semua barang yang bisa gue bawa."

"Awalnya gue tinggal sama Yuni, cuman ibu kostnya mulai negur karena gue ga balik-balik." Catur menyeka air mata dan hidung yang cairannya sudah mau keluar.

"Seminggu lalu, mba Reka  nawarin kostan dengan harga murah, mana hitungannya per tahun." Kini mata berair itu menatap Dwi tepat di matanya. Membuat yang ditatap kini beralih ke teh yang kini asapnya sudah tidak mengepul lagi.

"Tergiur lah gue yang memang butuh tempat tinggal yang cepat. Gue cuman tau lokasinya, dan memang strategis karena dekat kampus dan tempat kerja." Jelas Catur lagi.

"Kebetulan Ibu gue ninggalin kalung dan gue gadaiin itu untuk nyewa rumah ini.Eh tapi malah ketipu." Mendengar itu hati Dwi benar-benar mencelos. Ia paham betul bagaimana kepercayaan yang kita berikan dirusak dengan mudahnya.

"Gue ga mungkin kembali ke rumah Bapak tiri gue. Ke kostan Yuni juga ga mungkin." Kini Dwi menangkap pergerakan Catur yang mendekati dirinya dengan tangan yang menyatu di depan wajahnya.

"Jadi boleh yah gue tinggal di sini, seminggu lagi."

Wajah Catur sudah harap-harap sambil mengisyaratkan tangan membentuk angka 1, namun wajah dingin Dwi sepertinya tidak akan meleleh.

24.3 Jenselle AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang