4. Melayang

1K 141 51
                                    

DWI berjalan menyusuri gang di lingkungan padat penduduk sekitar rumahnya. Beberapa barang kebutuhan rumah sudah habis dan dia berencana untuk belanja sendiri sambil cari angin.

Setelah sampai bukannya mulai mengambil keranjang untuk belanja, kaki pria tinggi itu melangkah langsung ke kasir.

"Ron! Rokok!" Panggil Dwi pada seseorang yang sedang menghitung bon dengan kaca mata di ujung hidungnya.

"Yang 20 atau 16?" Tanya yang masih menyelipkan pulpen di jarinya.

"Serah!"

Setelah mendapatkan rokoknya, Dwi memberikan selembar daftar belanja ke meja pria keturunan Tionghoa itu.

Tubuh pria dengan gaya rambut cepak rapi tersebut langsung berdiri dan berjalan menjauh dari meja kasir.

"Dun! Tolong bawa keranjang! Cariin barang-barang ini!" Aron menginterupsi salah satu karyawan ditempat itu dan yang tadi dipanggil langsung datang dan mengambil kertas yang tadi ada di tangan kanan Aron.

"Jum! Tolong jaga kasir, gue ke depan bentar!" Panggil Aron lagi pada pegawai lainnya dan yang dipanggil langsung mengambil posisi yang tadi ditempati oleh teman Dwi.

Keduanya berjalan menuju pos kamling yang memang berada tepat di depan Toko bernama Bintang Jaya itu.

"Udah cocok lu, jaga toko." Dwi berujar setelah membakar dan menyesap satu batang rokok miliknya.

"Yah cepet atau lambat gue musti nyocokin diri, lah." Aron yang juga ikut merokok itu kini membuang abu-nya ke lantai.

"Tumben lu jam segini udah muncul, toko gue lagi rame nih." Aron kembali menyesap rokoknya dengan mata yang mengedar mengikuti pengunjung yang keluar masuk untuk berbelanja di tokonya.

"Lu ngusir gue?" Sedikit merasa terusir, Dwi bertanya dengan nada agak membentak.

"Kagak. Tumben aja lu kan munculnya biasa deket Maghrib." Kembali kedua jari yang kini menjepit rokok itu mendekat ke mulutnya.

"Tau-tau an lu magrib." Ejek Dwi ikut menyesap kembali rokoknya.

"Ya karna temenan Ama elu gue tau." Aron kini mengamati beberapa ibu-ibu tengah memilih telur di tatakan dekat freezer.

"Malas gue di rumah." Pandanga Aron teralih kembali melihat Dwi.

"Kenapa? Sepi? Kawin makannya! Biar ada yang lu bisa ajak duel." Tangan Aron kini mengisyaratkan kedua tinjunya beradu namun tidak kena karena ia masih menjepit rokok di tangan kiri.

"Pala lu duel. Daripada sepi sekarang hidup gue berisik banget. Ga tenang!" Pria bercelana badminton dan alas kaki sendal jepit itu menggaruk kasar belakang kepalanya.

"Kenapa?" Kini tangan kanan Aron merangkul sahabatnya itu.

"Gue kan pulang mau istirahat yah, capek gue layar 6 bulan tapi pemandangannya bikin gue ga tenang." Wajah Dwi terlihat kesal kini.

"Kenapa rumah lu ada setannya?"

Dwi membuang nafasnya kasar bersamaan dengan kepulan asap dari mulutnya.

"Kagak anjirrrr, ini lebih parah keknya."

"Parah? Lu sakit?" Aron kaget karena sebelumnya Dwi tidak pernah mengeluhkan soal kesehatannya.

Jengah dengan pembicaraan Aron yang tidak nyambung, Dwi kini mengingat jika kemarin Pria itu tidak ikut ngumpul dengannya dan Anan saat dia ingin bercerita soal rumahnya.

"Lu sih ga datang kemarin."

"Yah elu ngajak gue siang-siang, jaga toko gue jam segitu." Tidak mau disalahkan kini Aron mematahkan argumen Dwi.

24.3 Jenselle AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang