Happy reading
•••
Vano berlari dengan nafas terengah-engah. Pandangannya hanya tertuju kedepan tanpa berkedip sedikitpun, sesekali ia berhenti untuk mengatur nafas. Menoleh kebelakang, ia merutuk dan kembali berlari, saat sekelompok preman itu masih mengejarnya.
Tadi saat pulang sekolah, Vano menunggu Kelvin untuk pulang bersama, karena Herson berpesan agar mereka berdua pulang bersama. Tapi sudah lama menunggu, Kelvin tak kunjung menampakkan batang hidungnya, atau mungkin Kelvin sudah pulang tapi Vano tidak menyadarinya. Jadi Vano terpaksa pulang sendiri.
Apesnya, saat akan memesan taksi Vano baru menyadari jika kartu atm-nya hilang. Mungkin terjatuh saat ia dipukuli tadi pagi. Dan lagi ia tidak memiliki uang cash. Oleh karena itu Vano tidak punya pilihan lain selain berjalan kaki menuju mansion Alldarick.
Jarak antara mansion Alldarick dengan sekolah Vano membutuhkan waktu kurang lebih satu jam jika berjalan kaki. Awalnya Vano berniat beristirahat, karena terlalu kelelahan saat di perjalanan menuju mansion. Tapi siapa sangka, Vano bertemu dengan sekelompok preman yang sedang menunggu mangsa di pinggir jalan yang kebetulan jarang dilalui kendaraan.
Karena takut, Vano berlari dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara agar preman itu tidak menyadari kehadirannya. Ia lebih baik menghindar dari sekelompok preman itu, daripada ia akan menjadi korban mereka selanjutnya.
Tapi karena tergesa Vano tidak sengaja menimbulkan suara yang membuat kelompok preman itu menyadari kehadirannya. Tanpa pikir panjang Vano menambah kecepatannya saat preman itu mulai ikut berlari mengejarnya.
Sampai sekarang Vano masih berlari, diikuti oleh sekelompok preman yang tidak menyerah untuk mengejarnya.
"H-hey nak, apakah kau tidak lelah? B-berhenti berlari, oke?" Salah seorang dari preman itu berteriak dengan nafas terengah, tapi kecepatannya tidak berkurang.
Vano menggeleng dan mempercepat langkahnya. Meskipun lelah tapi Vano masih bertahan karena ini adalah hidup dan matinya.
"Sial.. aku sudah tidak tahan lagi!"
Pria berambut gondrong itu mengambil pisau yang terselip di pinggang celananya. Lalu melemparnya ke arah Vano yang masih berlari.
"Akh--"
Vano terjatuh karena merasakan sakit yang menjalar dari kakinya. Ia menunduk dan mendapati pisau kecil yang menancap di betis kirinya.
Para preman itu berseru senang dan mempercepat langkah mereka menuju Vano yang berusaha untuk kabur.
"M-mau apa kalian?"
Salah seorang dari preman itu tertawa terbahak-bahak. Ia mengelus perut buncitnya dengan gerakan pelan. "Kenapa larimu cepat sekali, bocah!" Lalu menunjuk Vano dengan garang. "Cepat serahkan barang-barang berharga yang kamu punya, atau nyawamu taruhannya.."
Vano menggeleng cepat, "A-aku tidak punya!"
"Apa?"
Vano menatap mereka dengan memelas, "Maaf om tapi aku tidak punya barang mewah yang kalian maksud. Bahkan aku tidak memiliki uang sepeserpun sekarang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
REVANO || Transmigrasi
Teen FictionRevano tidak pernah menyangka jika jiwanya akan terjebak di raga orang asing. Dan lebih parahnya lagi, Jiwanya menempati raga anak laki-laki yang berusia 5 tahun. Sungguh ironis sekali. Tapi yang sangat Vano sayangkan adalah.. kenyataan bahwa, anak...