Happy reading
•••Kondisi Kelvin masih seperti sebelumnya. Ini adalah hari kelima ia di rawat di rumah sakit dan reaksinya ketika bangun masih sama, yaitu mengamuk dan memberontak tidak terima karena telah kehilangan penglihatannya. Herson yang tidak sanggup melihat keadaan putranya seperti itu datang menemui dokter yang menanganinya untuk berdiskusi mengenai penyembuhan Kelvin.
"Apakah mata anak saya tidak bisa disembuhkan lagi, Dok?"
Dokter pria paruh baya itu tersenyum formal dan berkata dengan pelan. "Sebenarnya bisa di sembuhkan, jika ada seseorang yang rela mendonorkan matanya kepada Kelvin."
Herson membalas tatapan sang dokter, pria paruh baya itu menjawab dengan mendesak. "Saya mohon, tolong carikan pendonor untuk Kelvin. Saya akan bayar berapapun dokter mau!"
Dokter itu menggeleng kecil. "Saya sudah berusaha mencari.. tapi sampai sekarang saya tidak menemukan pendonor yang bersedia."
Dokter itu menambahkan. "Tuan tenang saja, saya akan berusaha semaksimal mungkin mencari pendonor mata untuk Kelvin. Tapi mungkin harus bersabar karena prosesnya yang lama."
Herson akhirnya mengangguk setuju. "Baik, dok. Saya tunggu kabar baiknya."
Sementara Herson sedang berbicara dengan dokter, Vano diam-diam masuk ke dalam ruang rawat Kelvin. Selama lima hari ini, ia memang tidak diizinkan berada di dekat Kelvin karena mereka takut kedatangan Vano membuat Kelvin marah.
Suara pintu berderit terdengar menusuk di ruangan yang hening dan dingin. Vano melangkah dengan perlahan mendekati seseorang yang tengah tertidur di atas ranjang rumah sakit.
Setelah melihat wajah Kelvin dengan jelas, Vano menghela nafas pelan. Wajah kakaknya sekarang sangat pucat seolah Kelvin yang ia lihat sekarang adalah mayat. Tangan Vano terangkat mengelus wajah pucat itu dengan hati-hati.
Kelvin tiba-tiba membuka matanya. Di mata itu tidak ada lagi binar saat melihat banyak hal, sekarang bola mata itu terasa hampa karena hanya bisa melihat kegelapan.
"Siapa itu?"
"Kak Kelvin," cicit Vano tidak berani menatap netra kakaknya itu.
"V..vano!" Kelvin meraba-raba sekitar berusaha menggapai tangan Vano yang sudah tidak memegang wajahnya lagi. Vano yang mengerti langsung menggenggam tangan Kelvin.
"Iya kak.., ini Vano, hiks."
"Jangan nangis." Tangan Kelvin terangkat bermaksud menghapus air mata Vano. Vano tertawa kecil karena jari Kelvin menusuk hidungnya, dengan lembut ia mengarahkan telapak tangan Kelvin untuk menyentuh kedua pipinya.
"Kak Kelvin... Vano minta maaf."
Kelvin yang masih memegang pipi Vano, menghapus air mata yang kembali mengalir. "Sudah kakak bilang jangan menangis, Vano."
"Vano minta maaf, karena udah buat kakak seperti ini. Seharusnya Vano menahan kakak lebih lama."
Kelvin tersenyum tipis. "Vano tidak salah, jangan meminta maaf seperti ini. Kamu membuat kakak merasa lebih buruk."
Vano akhirnya dengan berani memandang netra kakaknya. Kelvin membalas tatapan Vano dengan pandangan kosong. "Kakak tidak marah pada Vano lagi?"
Setelah hening sesaat, Kelvin tiba-tiba menarik tangannya dari wajah Vano. Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih nyaman.
"Sebenarnya... Aku tidak pernah marah kepada Vano. Aku-- aku hanya bingung bereaksi seperti apa di depanmu." Kelvin melanjutkan, "Aku merasa tidak percaya diri setiap melihat mata Vano dan sekarang karena aku tidak bisa melihat reaksimu lagi, aku ingin mengatakan.. Maaf, Vano. Kakak minta maaf atas segala kesalahan kakak di masa lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
REVANO || Transmigrasi
Teen FictionRevano tidak pernah menyangka jika jiwanya akan terjebak di raga orang asing. Dan lebih parahnya lagi, Jiwanya menempati raga anak laki-laki yang berusia 5 tahun. Sungguh ironis sekali. Tapi yang sangat Vano sayangkan adalah.. kenyataan bahwa, anak...