Happy reading
•••
"Kalian lihat Vano, tidak?"Bryan dan Farrel yang sedang asyik bermain game di ponsel mereka dikejutkan oleh kedatangan Alex yang tiba-tiba. Atmosfer di dalam kelas seketika berubah. Siswa siswi yang sibuk sendiri menoleh ke meja mereka dengan rasa penasaran.
"Astaga! Kaget ..." seru Bryan dengan ekspresi terkejutnya yang dibuat-buat.
Melihat itu, Alex memutar bola matanya malas. "Lebay."
Karena adanya jeda, akhirnya Bryan kalah dalam permainan, ia hanya mengerutkan bibirnya tak suka. Karena tak berani memarahi Alex jadi ia hanya merutuki Alex di dalam hatinya. Sedangkan Farrel, ia tak ambil pusing ia mengesampingkan gamenya dan bertanya mengapa Alex mencari Vano.
"Apakah aku tidak boleh mencarinya?" Bukannya menjawab Alex malah bertanya balik. Hal itu membuat Farrel menggeleng dengan keras.
Farrel memindai disampingnya. "Lah..., Tadi Vano ada disini kok! Iya kan, Yan?" Bryan mengangguk cuek. Anak itu kembali melanjutkan bermain game di handphonenya.
"Coba cari di belakang deh, Lex. Mungkin Vano lagi di toilet." Saran Farrel. Setelah mendengar itu Alex mengangguk singkat dan berbalik meninggalkan mereka.
"Terimakasih nya mana?" Bryan berteriak saat melihat punggung Alex menjauh.
Farrel hanya menggeleng melihat kelakuan sohibnya itu. "Tadi aja waktu Alex disini kamu nggak berani teriak-teriak kayak sekarang tuh," sindirnya.
"Siapa bilang?"
"Mulai deh." Farrel mengabaikan Bryan dan kembali memainkan gamenya yang sempat tertunda.
Merasa di abaikan, Bryan menggigit pipi bagian dalamnya. Ia memberikan Farrel jari tengah dan setelahnya ia juga ikut bermain game.
Beberapa detik kemudian mereka berdua kembali asyik bermain game bersama. Sesekali umpatan Bryan terdengar saat beberapa kali mengalami kekalahan. Sementara Farrel hanya tertawa senang saat melihat Bryan kesal.
Teman sekelas yang melihat kelakuan mereka hanya geleng-geleng kepala, mereka sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini di kelas atau dimana pun kedua lelaki itu berada.
•••
Sementara itu di toilet, Vano terlihat sedang membasuh wajahnya dari keran yang mengalir menggunakan kedua tangannya. Setelah beberapa saat, Vano mendongak menatap pantulan wajahnya yang basah di dalam cermin.
Mata lelah yang memandangnya dari pantulan cermin sudah menjelaskan kalau Vano membutuhkan istirahat. Ia juga manusia biasa yang bisa lelah kapan saja.
"Ayah, Bunda ... Vano mau pulang," rengek Vano di dalam hatinya. Sebenarnya banyak yang ingin Vano keluhkan tapi ia bingung hal apa yang harus ia keluhkan terlebih dahulu. Vano juga bingung ingin mengeluh kepada siapa, ia tidak bisa asal mempercayai seseorang di dunia ini. Bukan tanpa alasan, ia hanya takut rahasianya akan terbongkar dan beresiko terhadap misi yang telah ia jalankan.
Jika kalian bertanya dimana 'Re? Vano juga tidak tahu. Kucing hitam itu memang sudah jarang muncul di hadapannya. Entah apa yang kucing itu lakukan, hanya dialah yang tahu!
"Dasar kucing hitam jelek. Dulu aja, dia bilang akan selalu berada di sisiku. Sekarang saat aku membutuhkannya, dia menghilang gitu aja..."
Vano bergumam dengan suara kecil. Tetapi meskipun ia terkesan memaki kucing itu, tak dapat dipungkiri, ia juga merindukan Re.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVANO || Transmigrasi
Teen FictionRevano tidak pernah menyangka jika jiwanya akan terjebak di raga orang asing. Dan lebih parahnya lagi, Jiwanya menempati raga anak laki-laki yang berusia 5 tahun. Sungguh ironis sekali. Tapi yang sangat Vano sayangkan adalah.. kenyataan bahwa, anak...