Happy reading
•
•
•
•Vano memutuskan untuk meninggalkan Raden yang tengah tertidur di ruang unit kesehatan sekolah agar ia bisa mengisi perutnya yang sedari tadi merasa lapar. Tetapi sebelum ia menginjak kantin ia berjumpa dengan Zean yang sepertinya hendak ke kantin juga. Tapi kali ini sepupu sahabatnya itu tidak sendiri, ada dua siswa yang berjalan di sisi kanan dan kiri Zean.
Zean yang juga melihat kehadiran Vano mempercepat langkahnya menghampiri Vano. "Vano, Lo kemana aja? Gue dari tadi nyariin tau."
"Maaf kak. Tadi Vano di UKS," jawab Vano segera. Mendengar itu Zean menatapnya terkejut, "Kamu sakit? Bagian mana yang sakit?" Zean memeriksa keadaan Vano dengan raut khawatir.
"Bukan aku kak. Yang sakit teman aku," ujar Vano mengklarifikasi. Ia agak terkejut melihat respon Zean. Kenapa pria yang baru ia temui tiga hari yang lalu sangat khawatir mendengar kondisinya.
"Oh begitu.." Zean melepaskan tangannya dengan kikuk. "Lain kali kalo ada apa-apa jangan lupa kabarin gue. Gue takut Lo kenapa-kenapa, sumpah."
"Iya kak. Aman..!"
Kedua teman Zean saling pandang seolah menanyakan siapa gerangan murid baru yang ada di depan mereka, setelah beberapa saat, salah satu teman Zean memberanikan diri untuk bertanya: "Siapa, Ze?"
Zean menoleh dan menjawab singkat. "Adik sepupu gue." Setelahnya ia memandang Vano dan mengedipkan sebelah matanya seolah menyuruhnya untuk ikut berbohong juga. Melihat itu Vano hanya bisa tersenyum seadanya. "Halo kak, aku Revano Alldarick. Salam kenal..!"
"Gue Niken." Teman Zean dengan rambut coklat, menyambut tangan Vano yang terulur. Setelah itu, orang yang bertanya kepada Zean tadi juga ikut menyalami Vano. Ia berujar sembari tersenyum tipis, "Rehan. Salam kenal juga!"
Vano mengangguk dan berusaha memasukkan nama-nama mereka ke dalam ingatannya.
"Mau ke kantin ya? Bareng kita aja," ajak Zean membuka suara.
Mendengar itu Vano mengangguk kecil.
Mereka berempat akhirnya pergi ke kantin yang ada di lantai dua. Kantin di sekolah itu sangat lebar, meskipun ada banyak murid, tetapi masih ada beberapa space kosong yang belum diduduki.
Vano hendak duduk di salah satu meja, tetapi gerakannya dihentikan oleh Zean. "Kenapa kak?"
"Meja yang itu udah ada pemiliknya," jawab Zean dengan suara rendah. Ia melepaskan tangannya yang menahan tubuh Vano.
"Ah maaf kak, aku tidak tahu." Jawab Vano sedikit malu, ia segera merutuki kebodohannya.
"Tidak apa-apa, santai saja. Selama Lo bareng kita, Lo aman." Rehan menyahut sambil memasukkan kedua tangannya di kantong celananya.
Mereka akhirnya tiba di sebuah meja yang tidak jauh dari meja sebelumnya. Di meja itu terdapat enam buah kursi, langsung saja ketiga orang yang datang bersama Vano duduk di kursi itu. Melihat Vano yang masih berdiri, mereka bertiga saling pandang.
"Vano.. kamu tidak duduk?" Niken bertanya dengan sedikit kekehan.
Vano menoleh dengan cepat dan seolah tersadar, ia langsung mengambil tempat di samping Zean.
Melihat kelakuan Vano mereka hanya menggeleng kecil. "Lo pasti takut kena tegur lagi kan?" Vano tersenyum canggung menanggapi pertanyaan itu."Biar gue jelasin sedikit. Fasilitas yang ada di kantin ini semuanya adalah donasi dari para orangtua siswa. Jadi, setiap meja dan kursi yang ada disini memiliki pemilik, pemiliknya yaitu anak dari donatur tersebut." Jelas Zean dengan suara lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVANO || Transmigrasi
Teen FictionRevano tidak pernah menyangka jika jiwanya akan terjebak di raga orang asing. Dan lebih parahnya lagi, Jiwanya menempati raga anak laki-laki yang berusia 5 tahun. Sungguh ironis sekali. Tapi yang sangat Vano sayangkan adalah.. kenyataan bahwa, anak...