Happy reading
•••
Vano menyerahkan helm ditangannya kepada Alex, setelahnya melompat turun dari motor teman sebangkunya itu, "Nih..., Terimakasih atas tumpangannya.'"Hm." Tangan Alex menerima helm dan memandang Vano dengan datar. "Aku pergi!" Setelah mengatakan itu ia menyalakan motornya tanpa menunggu jawaban Vano.
Vano menatap kepergian Alex dengan kening mengerut. "Dia masih marah?" Vano tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini sahabatnya itu berubah. Alex lebih sering diam dan ekspresi nya selalu menunjukkan rasa tidak suka.
Vano menghela nafas dan berbalik. Ia memasuki gerbang dengan lesu.
"Selamat sore tuan Vano."
Vano tersenyum membalas sapaan pengawal yang menjaga gerbang mansion. "Sore."
Sedangkan supir yang melihat kedatangan Vano langsung gesit menyiapkan smart fourjoy, mobil khusus yang digunakan jika seseorang dari gerbang ingin kembali ke mansion utama tanpa berjalan kaki, Mengingat jarak antar gerbang dengan pintu utama tidak dekat.
"Silahkan naik, Tuan."
Vano mengangguk dan menaiki mobil tersebut dengan santai. Setelah dirasa Vano sudah naik, supir tersebut melajukan mobil dengan pelan, agar Vano merasa nyaman.
Vano memandang halaman depan mansion yang terlihat asri dan terawat. Berbagai tumbuhan dan pohon yang di tanam menambah kesan indah saat kamu menatapnya. Tanpa sadar Vano mengangkat kedua sudut bibirnya. Sejenak ia melupakan kekesalannya terhadap Alex.
Akhirnya mereka sampai di depan pintu utama. Vano turun setelah mengucapkan terimakasih kepada supir yang mengantarnya.
Beberapa pelayan yang ia lewati menunduk sopan saat melihat Vano. Ada juga yang menyapa Vano dan menanyakan bagaimana kabarnya saat di sekolah tadi. Vano menjawab semua pertanyaan mereka dengan ramah.
"Oh iya... Ayah, kak Gema dan kak Devon dimana Pak?"
Pelayan paruh baya yang ditanyai oleh Vano langsung menjawab dengan mantap. "Tuan besar dan tuan muda Gema masih bekerja. Sedangkan tuan muda Devon ada di rooftop, tuan muda."
"Baik. Kalian bisa kembali bekerja."
Semua pelayan tersebut pamit sebelum mereka pergi. Sementara Vano mengubah niatnya yang semula ingin rebahan di kamarnya, ia ingin menyusul Devon ke rooftop, jarang-jarang kakaknya itu datang ke mansion seperti hari ini.
***
Seorang pemuda yang mengenakan kemeja putih yang sudah kusut terlihat sibuk mengetik di laptopnya. Sesekali tangannya membuka lembaran buku tebal di atas meja dan membacanya dengan cepat. Ia juga terlihat mencoret sesuatu di lembar kertas.
Vano yang baru saja sampai, menatap pemuda itu dengan iba. Pemuda itu terlihat lebih kurus dari terakhir kali ia bertemu dengannya.
"Kak Devon..."
Mendengar nada lembut dari suara yang sudah ia hafal di benaknya, Devon menghentikan kegiatannya. Ia menoleh kebelakang dan mendapati adik bungsunya melihatnya dengan sedih. Devon tersenyum lembut, "Vano... Kesini."
Vano berjalan menghampiri Devon. Ia mengambil tempat duduk di samping kakak ketiganya itu. "Kakak lagi ngerjain skripsi, ya?"
Devon mengangguk, tangannya terangkat untuk mengelus kepala Vano. "Kamu sudah makan?"
"Seharusnya Vano yang bertanya. Apa kakak sudah makan? Kakak disini dari jam berapa?"
Devon menghela nafas pendek. "Kakak tidak selera makan. Kakak disini juga baru beberapa jam." Setelah mengatakan itu ia kembali mengetikkan sesuatu di laptopnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVANO || Transmigrasi
Teen FictionRevano tidak pernah menyangka jika jiwanya akan terjebak di raga orang asing. Dan lebih parahnya lagi, Jiwanya menempati raga anak laki-laki yang berusia 5 tahun. Sungguh ironis sekali. Tapi yang sangat Vano sayangkan adalah.. kenyataan bahwa, anak...