47. Kesempatan

4.1K 389 6
                                    

Happy reading

•••

Vano menghapus sisa air matanya menggunakan kedua punggung tangannya. Ia memandang Devon tanpa berkedip. Dari tatapan itu, Devon bisa merasakan jika Vano juga ikut terluka mendengar kisah masa lalunya.

Devon tersenyum pahit. "Begitulah kebenarannya. Maaf... Maafin kakak, Van. Kakak merasa menyesal atas semuanya. Kasih kakak kesempatan untuk memperbaiki segalanya, ya?"

Devon menatap Vano dengan penyesalan dan penuh harap.

Sementara itu, Vano yang sudah pulih dari tangisnya hanya bergeming. Ia masih memproses kata-kata penyesalan yang diucapkan kakaknya itu. Apakah kak Devon juga sudah luluh? Akhirnya...

"Apakah Vano tidak mau memaafkan kakak?"

Vano dengan segera menggeleng. "Ini bukan salah kak Devon. Ini adalah takdir." Vano melanjutkan, "Jadi berhenti menyalahkan diri kakak sendiri."

"--Seharusnya Vano yang meminta maaf. Seandainya saja Vano tidak lahir pasti ibu masih ada. Kak Devon dan kakak Vano yang lainnya pasti tidak akan kekurangan kasih sayang ibu. Ayah juga pasti tidak akan berubah. Seandainya..," Devon menggeleng cepat. Ia meletakkan jari telunjuknya di bibir Vano, dengan segera Vano menghentikan ucapannya.

"Vano... Jangan katakan seperti itu lagi ya?"

Vano hanya diam. Melihat itu Devon melanjutkan, "Kakak akan semakin bersalah jika Vano ikut menyalahkan diri sendiri. Kamu benar ini adalah takdir, Tuhan sudah menentukan garis takdir seseorang. Tidak ada anak yang ingin terlahir dari siapa dan menjadi apa."

"Jadi stop nyalahin diri sendiri, oke?"

Akhirnya Vano mengangguk dengan cepat. "Begitu juga kakak. Berhenti salahin diri kakak sendiri, ya kak?"

"Hm... Baiklah."

Vano akhirnya tersenyum lega.

"Kalau kak Devon ingin bercerita lagi, Vano siap jadi pendengar yang setia!" Saat ini Vano dan Devon berada di kamar Devon. Mereka memutuskan menginap di apartemen Devon karena sudah terlalu larut jika mereka kembali ke mansion.

"Kalau begitu Vano harus janji sama kakak. Kakak punya banyak stok cerita yang ingin kakak bagikan, loh. Yakin Vano ga akan bosan dengerinnya?"

"Selagi Vano ada di sini, Vano janji akan menjadi pendengar yang baik. Vano tidak akan pernah bosan!"

Devon dan Vano tertawa kecil saat mereka bertatapan. Akhirnya rasa canggung di masa lalu yang merayapi keduanya sudah hilang. Sekarang hanya ada rasa nyaman dan hangat layaknya seperti saudara harmonis pada umumnya.

****

3 bulan kemudian

"Ayah, Vano. Disini!" Devon melambaikan tangannya dengan semangat ke arah dimana ayah dan adiknya sedang celingak-celinguk mencari keberadaan nya.

Melihat seseorang yang melambai ke arahnya dengan segera Vano menarik senyumnya, ia menarik tangan Herson sambil menunjuk ke arah Devon. Melihat itu Herson hanya pasrah saat Vano menariknya. Mereka berjalan menghampiri Devon.

Sesampainya mereka, Herson menepuk pundak Devon dengan bangga. Ia juga menyerahkan paper bag ke tangan Devon. "Sebagai hadiah kelulusanmu," ujarnya.

Devon melebarkan matanya saat melihat isi di dalam paper bag itu. "Ini-, Ini adalah kunci mobil?"

Herson mengangguk singkat, "Suka?"

"Sangat suka! Devon sudah lama menginginkan merk mobil ini. Terimakasih, ayah." Devon bergerak untuk memeluk Herson, Herson dengan segera membalasnya. "Sama-sama."

Sedangkan Vano tak mau kalah. Setelah ayah dan anak itu berpelukan Vano juga menyerahkan buket money di tangannya kepada Devon. "Selamat wisuda kak Devon. Ini buket Vano buat sendiri loh, kak."

Devon tersenyum hangat dan menerima buket dari tangan Vano. Ia menatap Vano terharu, "Terimakasih, Vano." Sama seperti Herson, Devon juga memeluk Vano dengan erat.

Herson berkata setelah melihat kedua anaknya selesai berpelukan. "Oh iya, Gema dan Kelvin masih di perjalanan, sebentar lagi pasti sampai."

Karena jalanan begitu macet, keluarga Alldarick yang hendak menghadiri wisuda Devon, masih terjebak di jalanan. Mereka sudah terlambat satu jam dari waktu yang ditentukan. Adapun Herson dan Vano, mereka sudah menghadiri acara wisuda dari pagi hari sehingga mereka selamat dari kemacetan.

Devon mengangguk mengerti mendengar penjelasan dari ayahnya.

Sembari menunggu mereka. Devon mengajak Vano dan ayahnya untuk berfoto guna mengabadikan momen wisudanya.

Devon merasa sangat bersyukur, ia akhirnya bisa menyelesaikan masa studinya selama tiga setengah tahun. Bukan itu saja, ia juga bahkan mendapatkan predikat cumlaude dan menjadi salah satu mahasiswa lulusan terbaik di jurusan dan universitas nya.

Padahal awalnya Devon ragu bisa menyelesaikan skripsinya dikarenakan dosen pembimbingnya yang susah untuk ditemui, tetapi untunglah semua berjalan dengan lancar. Devon tau ini adalah berkat usaha dan doanya serta dukungan dari keluarga kecilnya.

***

Devon meletakkan buket bunga diatas sebuah makam. Tangannya meraba batu nisan yang bertuliskan nama panjang ibunya. "Ibu-- Hari ini Devon wisuda. Devon adalah salah satu lulusan terbaik di universitas Devon, lho. Ibu pasti bangga kan?" Tak terasa setetes air mata jatuh dari sudut mata Devon.

Devon tersenyum tipis, "Devon janji sama ibu. Devon akan memakai gelar Devon sampai Devon sukses nantinya, agar ibu lebih bangga lagi kepada Devon. Devon tahu, pasti ibu sangat menantikan hari itu kan? Ibu.."

Devon menunduk karena tak kuasa menahan tangisnya. Ia menarik nafas dan menatap gundukan tanah itu dengan mata sembab.

Di belakangnya Vano berusaha menenangkan Devon, anak remaja itu mengelus punggung kakaknya dengan lembut.

Sebenarnya Vano sudah merasa tidak nyaman sedari tadi, ia merasa seperti diawasi oleh sesosok yang tidak bisa ia lihat. Meskipun begitu ia harus tetap menemani dan menenangkan Devon agar tidak terlalu larut dalam kesedihan.

"Saya minta maaf karena memakai tubuh anak bibi tanpa izin. Saya tidak bermaksud, tapi saya punya alasan khusus kenapa jiwa saya bisa terseret ke raga Revano. Saya janji setelah saya menyelesaikan misi yang diberikan oleh 'Re, saya akan kembali ke raga asli saya."

Setelah mengatakan itu, aura di sekitar mereka segera berubah, tidak lagi mencekam seperti tadi. Vano akhirnya menghela nafasnya lega.

"Tenang saja.. Hanya ada satu orang lagi yang belum luluh, setelah Kelvin luluh kamu akan bebas, Vano."


To be continued

REVANO || Transmigrasi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang