Pemikul

24 3 0
                                    

Namaku Gibran, Aku adalah seorang anak yang di lahirkan di desa, dan dari keluarga yang perekonomian selayaknya anak pedesaan pula. Ayah dan Ibuku bukanlah orang besar, kaya, atau orang terpandang di desa. Sering kali juga keluargaku di rendahkan oleh tetangga dekat rumahku yang keluarganya mempunyai perekonomian yang menduduki piramida puncak ekonomi di desaku. Dan karena hal itulah Aku mempunyai ambisi untuk memutar roda kehidupan keluargaku.

Jika keluarga lain dapat memakan daging dalam sehari-harinya, sudah bersyukur sekali rasanya keluargaku memakan singkong yang Ibu ambilkan dari kebun belakang rumah yang ia tanam. Jika anak-anak lain sekolah di antar menggunakan sepeda motor, bersyukur sekali rasanya kaki ini masih dapat berjalan dengan cukup kuat berkilo-kilo meter untuk sampai kesekolah. Jika anak-anak lain berangkat menuju sekolah jam 6 pagi, berbeda dengan Aku dan Adik-adikku. Karena, Ibu dan adik-adikku sudah terbangun sejak jam 3 pagi untuk pergi kesekolah, karena memang Ayah dan Ibuku tidak mempunyai kendaraan seperti keluarga lain. Aku dan Adik-adikku harus bangun lebih dini dari anak-anak sebayaku yang lain, karena Aku harus berjalan kaki dan menempuk jarak berikilo-kilo meter agar dapat duduk di bangku sekolah.

Aku mempunyai empat saudari perempuan, Aku adalah anak ke-dua dari lima bersaudara. Dan aku juga adalah anak laki satu-satunya dari pernikahan Ayah dan Ibuku. Ayah dan Ibuku selalu berpesan kepadaku, untuk menjaga kakak dan Tiga adik perempuanku. karena memang hanya Aku anak laki-laki Ibu satu-satunya dalam keluarga.

Saat malam tiba di teras depan rumah, Aku selalu memikirkan tentang hidupku. Mengapa Aku terlahir dari keluarga yang bermartabat rendah atau bahkan mungkin tidak bermartabat di mata orang-orang kampungku pada saat itu. Mengapa juga dari kelima anak Ibuku, hanya Akulah laki-laki seorang. Mengapa Kaka dan Adik-adikku perempuan.

Sedari kecil pun Aku sudah memikul beban yang cukup berat apabila dibandingkan dengan teman-teman sebayaku pada saat itu. Mungkin karena memang Aku hanya anak laki satu-satunya di keluargaku, yang karena hal itulah menjadikan Aku sudah bekerja seperti orang dewasa, padahal saat itu umurku masih sekitar 12 tahun.

Pekerjaan yang Aku lakukan tidaklah hanya soal membantu Ibu berdagang, membantu Ayah bengurus taman yang ada di sekelilingan rumahku, tapi Aku juga turut membantu dalam pekerjaan yang seharusnya lebih pantas di kerjakan oleh anak perempuan. Aku sering memasak untuk makanan dirumahku, dan itu bukanlah hal yang aneh lagi untukku, walaupun sedikit aneh jika di bandingkan dengan teman-teman sebayaku.

Padahal, Aku mempunyai satu kaka perempuan dan tiga adik perempuan, namun mencuci piring selesai makan pun Aku yang melakukannya.

Terkadang saat tidak ada pekerjaan rumah yang Aku lakukan, Aku juga turut bermain dengan teman-temanku, seperti anak kampung pada umunya. Aku bermain ke sawah, ke ladang, mengambil buah dari pohon milih orang lain.

Hal itu memang tidak baik, dosa, dan memang tidak untuk di contoh. Akan tetapi, hal itu sangat menyenangkan. Dan apabila Aku dan teman-teman didapati sedang memanjat pohon oleh pemiliknya, Aku langsung lari menuju sungai agar lepas dari kejaran Pak Edi. Karena memang Pak Edi akan terus mengejar sampai salah satu dari Aku dan temanku tertangkap. Tapi Pak Edi akan berhenti mengejar kami apabila, kami telah melompat ke sungai yang jaraknya tidak jauh dari rumah pak Edi tersebut. Karena memang Pak Edi tidak bisa berenang, hehehe~.

Pernah sekali pada sore hari menjelang maghrib, salah satu temanku bernama Juno tertangkap oleh pak Edi setelah Pak Edi mendapati kami mencuri buah mangga dari pohon miliknya. Kesalahan Juno saat mengapa ia bisa tertangkap adalah karena Juno tidak berlari menuju sungai. Padahal sebenarnya Juno pun lari ke arah sungai ketika Pak Edi mulai mengejar.

Pada saat itu Juno malah berlari menuju arah rumah depan pak Edi yang dimana pak Edi sudah membuat tanah di depan rumahnya basah. Saat Juno bercerita tentang hal itu, Aku kira memang itu adalah suatu hal yang sudah kebetulan dan mungkin saja karena memang nasib sial menghampiri Juno.

Tapi ternyata hal itu bukanlah kebetulan, melainkan hal tersebut sudah di rencanakan oleh pak Edi yang memang sengaja membasahkan tanah di depan rumahnya agar salah satu dari kami yang lari ke arah sana tergelincir. Dan tenyata, Junolah orang yang berhasil masuk ke dalam perangkap pak Edi.

Dan karena hal itu, Juno di hukum untuk mengeringkan tanah yang padahal Pak Edi sendirilah yang telah membasahinya. Dengan baju dan celana yang sudah berwarna coklat karena tanah, Juno pun menjalani hukuman yang di berikan pak Edi, dan di laporkan kepada orang tua Juno.

Hikayat si PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang