Buah yang mengikuti

2 3 0
                                    

Selama Aku mendekam dalam tahanan, lagi dan lagi untuk kesekian juta kalinya, Tuhan masih sayang dan memberiku kesempatan. Istriku masih setia padaku dengan setiap 1 bulan sekali ia datang bersama dengan anak-anakku yang semakin besar di setiap besukkannya. Tanpa terlupa juga setiap kali besukkan dari mereka, Aku selalu mengucapkan kata maaf yang entah mungkin sudah basi di telinga mereka.

Aku pun mendapat pemotongan masa tahanan 7 tahun, yang berarti usia masa tahananku genap menjadi 5 tahun. Dan pada tahun 2018, akhirnya Aku menghirup udara segar yang selama ini tidak Aku syukuri kenikmatannya. Kenikmatan yang sebenarnya ada disetiap detik dalam hidupku, tapi Aku tidak menyadari akan hal itu.

Saat Aku keluar, Aku di jemput oleh istriku dan kelima anak-anakku yang sudah tidak kecil lagi. Mereka sudah tahu siapa Ayahnya, dan seperti apa tingkah laku Ayahnya. Dan saat Aku keluar, tidak bisa Aku tidak merasa malu kepada mereka atas apa yang telahku perbuat. Tapi karena dari kebodohanku dulu, Aku melakukan satu hal yang benar dengan memilih seorang perempuan yang benar-benar menerimaku apa adanya.

Istriku memberitahu mereka atas apa yang telah kuperbuat karena saat 5 tahun yang lalu anak-anakku masih belum mengerti. Dan setiap sepulang membesukku, istriku selalu memberikan penjelasan kepada mereka. Yang membuatku seolah sangat baik padahahal, Aku telah menjadi orang tua yang sangat gagal.

Istriku yakin, 5 tahun mendekam di penjara dengan setiap 1 bulan sekali Aku dibesuk olehnya dan anak-anakku, telah membuat Aku sadar. Telah membuat Aku mengerti apa yang harus Aku lakukan untuk mereka. Dan yang paling mengagetkanku adalah, salah seorang anakku yang dulu mengepalkan tangan dan memberanikan dirinya seolah untuk menyelamatkanku, ia berkata di saat Aku baru menghandirkan diriku dari balik pintu gerbang penjara.

"Pah... Papah tidak rindu padaku?"dengan tangan yang membuat lebar yang memintaku untuk memeluknya.

dengan tangisan penyesalanku yang semakin keras terdengar di dalam hati, Aku pun berlari dan memeluknya dengan sangat erat.

"Maafkan Papah nak..., Maafkan Papah."Dengan tangisan yang semakin menjadi karena balasan peluk kehangatan yang anakku berikan.

"Sudah pah sudah. Yang lalu biarlah berlalu, dan sekarang kita bangun keluarga kita sama-sama lagi ya pah."Dengan bisikan mulutnya yang benar-benar tepat di telingaku.

Ia pun melepaskan sejenak pelukanku. Melihat dengan tatapan mata yang sangat penuh dengan kelegaan karena bisa memeluk Papahnya dengan bebas tanpa ada peringatan sipir penjara yang mengingatkan soal waktu kunjung telah habis.

"Pah..., Hidup itu ibaratkan kita mendaki gunung. Butuh perjuangan yang panjang hingga kita bisa sampai di atas puncak. Tapi hanya butuh waktu sebentar untuk kita turun dengan cara yang bodoh. Yaitu, dengan kita menjatuhkan diri kita dari atas puncak gunung, yang dapat membuat kita mati."Ucapnya padaku dengan kedua tangan yang masih berada di kedua pundakku.

Kedua tangan itu yang seolah meminta, bekerja keraslah kembali untuk menahan beban kehidupan mereka di pundakku ini. Saat itu menjadi tamparan yang benar-benar sangat keras sekali untukku. Sekaligus menjadikan masa lalu sebagai Guru terhebat dalam hidupku. Dan dengan kepalku yang terdunduk dengan fikiran dan rasa maluku yang belum pudar pada mereka, keempat anakku bersama Ibunya dengan jarak yang tidak terlalu jauh, mereka berterik.

"Papah..., Cuman abang aja nih ya dipeluk?, kita engga?"dan langsung mereka, menuju arahku yang membukakan kedua tangan dengan selebar-lebarnya. Karena tubuh mereka tidaklah lagi sekecil dulu.

Hikayat si PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang