Hanya tersenyum

4 3 0
                                    

Aku sudah selesai menghitung uang tabunganku, begitu pun dengan Ibu yang hampir selesai mengurusi pakaianku. Suasana saat itu sangat tampak membahagia-kan dan sangat meng-harukan pula. Karena disaat Aku sudang senang dengan restu yang telah diberikan Ibu untuk Aku pergi merantau ke Jakarta. Lagi-lagi Ibu membuat hatiku terenyuh kembali. Bahkan, sampai hampir membuat hatiku tergoyahkan untuk tidak pergi merantau dan mengubah nasib.

"Gibran?"

"Iyaa Bu ada apa?"dengan wajahku yang masih tersenyum.

"Boleh Ibu meminta satu saja baju kamu?"

"Boleh Bu, kenapa tidak?, Bajuku pun Ibu yang telah membelikannya."Dengan wajah yang heran atas permintaan Ibu.

Saat itu Aku mulai sedikit mencurigai alasan dibalik mengapa permintaan Ibu hanyalah meminta satu bajuku. Karena Aku tidak mau kecurigaanku menjadi semakin parah, Aku pun menanyakan perihal tersebut pada Ibu.

"Bu...Boleh Gibran tanya sesuatu pada Ibu?"tuturku pada Ibu.

"Iyaa kenapa Anakku."jawab Ibu yang sedang menghelus-heluskan bajuku.

"Untuk apa Ibu meminta bajuku?"

"Memangnya mengapa?, Apakah Ibu tidak boleh meminta baju kamu walaupun hanya satu?"tanya kembali Ibu padaku.

"Tentu saa boleh Bu. Tapi bukan itu yang gibran maksudkan. Ibu kan perempuan, sedangkan Gibran Laki-laki. Jadi, jika Ayah yang memintanya mungkin Gibran tidak akan bertanya untuk apa."Dengan penjelasan agar Ibu paham akan maksud pertanyaanku.

"Ibu menyimpan baju kamu itu agar, kala Ibu sedang rindu dengan-mu yang berada jauh di perantauan sana, Ibu tidak perlu cemas. Cukup Ibu memegang baju-mu, memeluk dan menciumnya. Itu sama saja Ibu memeluk dan mencium diri-mu."Dengan tetesan Air mata namun Ibu sembari tersenyum.

Entah apa yang sebenarnya Ibu rasakan dan atas alasan apa keluarnya sedikit titihan air mata Ibu pada saat itu. Apakah Ibu menangis sedih?, atau Ibu menangis bahagaia karena Aku mempunyai fikiran yang sangat luas dan berani?. Entahlah, hanya Ibu dan Yang Maha Mengetahui atas apa yang Ibu rasakan. Tapi yang jelas, hal itu tampak tidak memberikanku semangat.

Hal itu membuat Aku semakin tidak yakin untuk meninggalkan Ibu dan Ayah dengan Kaka dan 3 adik-adik manjaku. semakin merebah fikiran burukku pada saat itu. Siapa yang akan membantu Ibu berdagang?, Siapa yang akan mengurusi kebun jika bapak sedang sakit?. Kakakku?, ia pun sudah belaar bertahun-tahun tidak bisa mengurusi kebun yang di dampingi oleh Ayahku. Bagaiman jika ia diminta untuk mengurusi kebun itu seorang diri?, mungkin akan langsung mati seluruh tanaman yang ada di kebun Ayah.

Aku pun berbicara kepada Ibu tentang perihal kepergianku.

"Bu... jika memang seperti itu, maka Gibran tidak jadi untuk pergi ke Jakarta bu."Dengan kepalaku yang tertunduk.

Dengan kaget, sontak Ibu meng-gubris pembicaraanku itu."Mengapa memangnya?, Apakah kamu tidak ingin menjadi pengusaha sukses seperti apa yang telah kamu impi-impikan?."

"Pasti mau bu, tapi sepertinya jika sekarang terlalu cepat Aku meninggalkan Ibu dan Ayah kepada Kakak dan adik-adikku."Jawabku

"Justru semakin cepat semakin baik nak. Memangnya kapan waktu tepatnya?, saat Ibu sudah tidak bisa berjalan?, saat bapak hanya bisa terbaring di atas kasur?"apakah itu waktu yang tepat?"dengan kedua tangannya Ibu memegang kedua bahuku.

Saat itu Aku pun hanya terdiam dan memikirkan perkataan Ibu. Dan memang perkataan Ibu ada benarnya juga. Akan lebih gawat lagi rasanya apabila Aku meninggalkan Ayah dan Ibu di saat mereka sudah tidak bisa apa-apa lagi. Akan tetapi, bukan itulah jalan hidupku yang sebenarnnya. Aku harus berani dan menjadi laki-laki sejati. Selayaknya tulang punggung keluarga untuk di masa depanku.

Aku pun langsung berkata pada Ibu dengan pertanyaan yang sudah matang Aku fikirkan.

"Bu..."

"Yaa kenapa Gibran?"

"Jam berapa besok kapal di pelabuhan pergi untuk jadwal ke Jakarta Bu?"

Ibu pun hanya tersenyum dan memelukku dengan jawaban dari pertanyaannya seraya berkata."Itu baru Anak Ibuuuuuu!!"

Hikayat si PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang