Aku pun terbangun di pagi hari yang masih buta oleh suara kokokan Ayam di saat sang fajar masih menunjukan sedikit sinarnya, di saat suara jangkrik dari kebun yang berada di samping rumahku semakin mengecil suaranya. Dan sedikit suara rebusan Air yang Ibu masak di dapur belakang rumahku. Semakin cepat menyatukan nyawaku dari tempat per-istirahatannya.
Suara teriakan Ibu pun terdengan semakin jelas di telingaku yang memerintahkan Aku untuk segera bergegas menyegarkan tubuhku dengan Air dari pegunungan di desa. Potongan rumput Ayah yang membuat suasana pedesaan di rumahku semakin asri.
Hari itu adalah hari paling bersejarah dalam hidupku, yaitu pada tanggal 8 Agustus 1987. Dimana saat langkahan kakiku yang berusaha kuat untuk menghadapi rintangan hidup yang sudah jelas ada di depan mata. Tangan yang sudah terlatih untuk bertindak semestinya. Kulit yang menjadi hitam matang karena pancaran sinar tiap siang untuk menguat-kan diriku. Dan fikiran yang di dalamnya telah tersusun dengan rapih rencana hidup saat Aku memulai petualanganku hari itu.
Detik waktu demi detik semakin berlalu, semakin kuat, yakin, dan tidak sabar untuk menapak-kan kaki ini di Ibu kota. Sebuah salah satu kota di Negara Indonesia. Tempat yang dimana menjadi tempat mengadu nasib para anak perantauan dari berbagai penjuru daerah. Tempat yang secara tidak langsung menerapkan hukum rimbanya. Siapa yang lemah maka, ia yang akan mati lebih dulu.
Tidak ada fikiran lain dari Jakarta sedari Aku terbangun sampai Aku siap untuk pergi ke pelabuhan.
Terlihat lagi titihan air mata Ibuku dan Ayah yang berusaha untuk tegar walaupun sebenarnya terdapat air mata yang memaksa untuk keluar dari bendungan kelopak matanya. Adik-adikku yang saling berpelukan satu sama lain seolah masih tidak rela Aku akan pergi merantau ke Jakarta.
Tangisanku pun dimulai di saat adik-adik perempuanku mencium tanganku, dan Aku mencium tangan kakakku untuk berpamitan dan meminta do'a mereka pula untuk kepergianku untuk merantau ke Jakarata. Dan puncak lontaran air mataku pun yang tidak bisa Aku atur volumenya ialah, disaat Aku bersujud di depan kedua orang tuaku untuk bersujud dan mencium kedua kaki mereka.
Seraya berkata,"Do'a kan Gibran ya Bu..., Yah...!."
Saat itu Aku berpegang teguh dan berkata kepada diriku sendiri.
"Entah apa arti dari Air mata yang jatuh dari mata mereka. Tapi yang jelas, cukup-lah itu menjadi Air mata yang terakhir keluar dari mata mereka untuk diriku."
Setelah berpamitan dengan mereka pun, Aku langsung di antar oleh Ayah, Ibu, Kaka, dan Adik-adikku untuk kejalan besar yang tidak jauh dari rumah. Setelah itu cukup-lah Do'a mereka yang menjadi pengiring dan pelindung perjalananku nanti.
Tidak lama setelah Aku menunggu di badan jalan. Mobil tumpangan dari beberapa supir truck pengangkut barang yang memang kebetulan mengarah ke pelabuhan pun tiba dan bersedia untuk memberikan Aku tumpangan dengan tujuan yang sama.
Di saat itulah perpisahan yang sesunggunya kala itu. Setelah Aku menaiki mobil Aku tidak ingin melihat ke arah kaca spion mobil atau menengok ke arah belakang. Ke arah dimana Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik-adikku melambaikan tangan ke arahku.
"Meninggalkan mereka bukanlah inginku, Tapi itu adalah sebuah keharusan."Sepertinya itulah kata-kata yang dapat mewakilkan ke-dilemaan dan kesedihanku kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
Non-FictionBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...