Katakan saja apapun itu

4 3 0
                                    

Setelah kurang lebih 6 bulan kejadian Aku menolak bekerja di konveksi Pak Arif yang berarti sudah 1 tahun 6 bulan Aku menjadi pegawai di konveksi Pak Ujang, Aku pun mulai memikirkan hal yang lebih jauh. Memikirkan hal yang lebih jauh namun itu hal yang sudah sedari dulu Aku inginkan. Hal yang membuat membulatkan tekad untuk melangkahkan kaki ke Ibu Kota untuk merantau.

Aku mulai berfikir atas apa tujuanku sebenarnya rela jauh-jauh meninggalkan rumah dan keluargaku. Hampir semalaman Aku memikirkan tentang hal tersebut di dalam kamar dengan kesunyian dari Alam namun penuh kebisingan di dalam kepalaku.

"Sudah terlalu lama sekali Aku bekerja di tempat Pak Ujang, kalau begini terus Aku tidak akan bisa menjadi apa yang Aku inginkan."ucap dan fikirku dalam renungan sembari terbaring di atas kasur.

"Ibu dan Ayah sedang apa ya?"

"kakak dan adik-adikku pasti merasa kesepian karena, tidak ada yang menjahili mereka."

"Ibu sanggup tidak ya berdagang sendirian."

"apakah kebun Ayah masih se-rapih dan secantik dulu?"

Terlalu banyak fikiran yang membuatku terhanyut dalam kerumitan otakku. tapi yang menjadi prioritasku adalah, bagaiman caranya Aku bisa menjadi seperti apa yang Aku inginkan dan keluargaku harapkan.

"sepertinyaa...., Aku harus berkata jujur pada Pak Ujang. Malam ini tidak mungkin. Karena pasti, Aku menggangu waktu santainya. Yasudah, besok sajalah."

Aku pun terlena dalam lamunanku yang tak berujung sampai pada akhirnya mataku pun terpejam dengan sendirinya.

Dan pada Keesokan harinya, Aku pun kembali bekerja seperti biasa yang Aku lakukan, menghitung, mencatat, dan melapor. Tapi ada satu hal yang berbeda dari hari sebelumnya dan menentukan hari-hariku kedepannya.

Sang surya pun mulai terbenam yang bagaikan itulah tanda waktu yang tepat untuk Aku yang terbit. Terbit dari tidur panjangku yang setelah sekian lama Aku hanya bermimpi. Bermimpi menjadi seorang pengusaha sukses dan membuat Ibuku menangis. Membuat Ibuku menangis yang dimana tetesan air mata pertamanya keluar dari bola mata sebelah kanannya.

Dan saat itu Aku pun benar-benar sudah membulatkan tekadku. Yaitu, membulatkan tekadku untuk berkata apa yang akan Aku lakukan kedepannya.

Aku pun menghampiri Pak Ujang yang sedang duduk di tempat ia biasa duduk memperhatikan para pegawainya bekerja di tempat usahanya tersebut.

"Sore Om."Sapaku pada Pak Ujang.

"Ehh kamu Gibran..., Om kira siapa. Sini duduk."Tutur Pak Ujang yang menyuruhku duduk.

"O... Om..."ucapku.

"Gimana pekerjaan kamu?, sudah selesai?"tanya Pak Ujang yang tidak mendengar ucapanku.

Pak Ujang pun tidak mendengar ucapanku yang seharusnya itu menjadi pembuka untuk Aku berkata sesuatu padanya.

Dengan sedikit rasa kesal dalam hatiku karena tidak mendegar ucapanku. Padahal, ia tidak tahu saja betapa dag-dig-dug nya jantungku untuk mengatakan hal tersebut padanya.

"Tapi Aku jawab dulu saja pertanyaan-ya lalu langsung Aku terobos apa yang ingin Aku bicarakan padanya."Ucapku dalam hati.

"Udahh Om.... kalau belum tidak akan Aku duduk disini dong Om."Jawabku atas pertanyaannya.

Ia pun terlihat diam dan tidak mendengar ucapanku. Dan itu pun membuatku semakin jengkel. Ia malah memperhatikan para pegawainya yang masih bekerja.

Karena hal itu Aku pun langsung membicarakan hal yang sudah Aku rencanakan padanya.

"Om..."Ucapku dengan keadaan yang tertunduk.

"Iya kenapa Gibran."Jawab Pak Ujang yang akhirnya melihat ke arahku karena ku panggil.

"Aku ingin bicara sama Om tentang sesuatu boleh Om?"Tanyaku padanya.

"Tentang sesuatu apa memangnya?, serius sekali kamu kayanya."

"ini tentang masa depanku Om."Dengan kepalaku yang masih tertunduk dan sesekali melihat ke arahnya.

"tentang masa depan kamu?, maksudnya apa?, Om nggak ngerti maksud kamu apa."Tanya Pak Ujang.

"Jadi gini Om. Aku ingin bekerja di tempat Om boleh?"ungkapku pada Pak Ujang.

"Hah....?, berhenti bekerja...? kenapa..? kamu sudah tidak betah ya bekerja disini?, karena gaji yang Om berikan sedikit?, pegawainya tidak ramah pada-mu ya? Atau karena apa?, beritahu Om saja."tanya Pak Ujang padaku dengan sangat cepat seperti orang kebaran jenggot.

"Bukan Om... Gaji yang Om berikan sangat cukup Om untukku dan untuk mengirim ke Ibu. Pegawai disini juga ramah Om, Pokonya tidak ada masalah Aku di tempat kerja ini."pungkasku untuk menepis pemikirannya yang tidak-tidak karena ucapanku.

"terus karena apa kamu tiba-tiba ingin berehenti kerja disini? Padahal tidak ada angin, tidak ada hujan. Bingun Om jadinya."Tutur Pak Ujang sembari merangkul pundakku.

"Jadi gini Om. Sebenarnya Aku ingin sekali mempunyai usaha sendiri seperti Pak Ujang sekarang ini. Aku ingin menjadi pengusaha sukses Om. Jadi Aku ingin mencoba berdang dengan bermodalkan Uang yang sudah Aku tabungi selama bekerja 1 tahun lebih dengan Om."Semakin tertunduk kepalaku tanda melihat sedikit-pun ke arah Pak Ujang yang padahal ia sembari merangkulku.

Namun, di saat tidak terdengar suara dari mulut Pak Ujang, malah Aku yang menolehkan kepalaku yang sebelumnya tertunduk menjadi ke arahnya. dan disaat Aku menoleh ke arahnya suatu hal terjadi. Suatu hal yang dimana itu tidaklah terbesit sedikit pun di benakku sebelumnya.

Sembari tersenyum, Pak Ujang pun berkata,"akhirnya kamu punya impian, dan Om senang sekali bisa mendengar itu yang keluar dari mulut-mu sendiri."

Dan saat itulah malahan Aku yang menjadi terdiam seribu kata, bahkan otakku pun juga turut mengikuti mulutku. Dan tiba-tiba,

Pak Ujang pun berdiri dari duduknya bersamaku dengan tangan kebelakang dan melihat ke arah pegawainya.

"Sepertinya, memang kamu harus mempraktikan atas apa yang kamu pelajari dari Om tentang berdagang. Entah itu yang secara langsung terucap dari mulut Om, atau yang kamu pelajari sendiri."Ucap Pak Ujang.

"Dan karena kemauan-mu seperti itu, maka Om akan siap membantu apapun yang kamu minta tolongkan pada Om."Tutur Pak Ujang yang sedang berdiri dan membelakangiku.

Aku pun beranjak dari dudukku, dan berdiri di sampingnya, dengan melihat ke arah pegawai lainnya bekerja di konveksi itu.

"Bukan Gibran tidak membutuhkan bantuan Om. Tapi selama ini Om sudah benar-benar sangat membantu Gibran. Dan Gibran tidak akan pernah melupakannya. Bahkan suatu saat Gibran ingin sekali bisa membalas budi pada Om. Bukan hanya dengan mentraktir Om makan saja."dengan sedikit gaya candaan yang tubuhku sedikit menyenggol tubuh Pak Ujang.

"Ohiyaa Om.... Gibran juga terimakasih banyak karena kurang lebih selama 1 tahun 6 bulan Gibran boleh tinggal dirumah Om tanpa membayar apapun. Dan mulai besok Gibran juga akan pindah ke kost yang sudah Gibran cari Om."Jelasku pada Pak Ujang.

Pak Ujang pun hanya terdiam menatapku dengan air mata yang diteteskan pertama kali oleh bola mata kanannya. Karena Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi padaku saat itu. Ia pun hanya tersenyum lebar dengan air mata yang menetes di pipinya, dan memelukku dengan erat.

Karena Pak Ujang yang seperti itu, Aku pun tidak bisa melarikan diri dari perasaannya yang sangat begitu menyayangiku seperti anaknya sendiri. Yaitu, dengan Aku membalas pelukan eratnya dengan memejamkan mata dan mengingat seluruh kebaikannya padaku.

Dan pada akhirnya, air mata yang tidak dapat terbendung di mataku lagi itu pun, meneteskan air mata yang lebih banyak dari yang Pak Ujang keluar-kan. Sampai-sampai air mataku membuat basak bahu yang terpakukan oleh kepalaku saat berpelukan dengannya.

"Aaahhh.... Aku sangat cengeng sekali... Tapi tidak apalah, Aku rela meneteskan Air mataku dan terlihat cengeng demi orang yang sangat baik sepertinya."Ucapku dalam hati yang masih berpelukan erat dengannya.

Hari itu menjadi hari yang sangat berperasaan. Entah perasaan apa saja yang ada di dalamnya. Tapi, hanya ada satu kata yang terngiang di kepalaku.

"Gerbang masa depan, Aku sudah memiliki kunci-mu, dan setelah ini, Aku akan menerobos masuk ke dalam, dan menjadi bagian-mu"Pungkas optimisku untuk menguat-kan mentalku pula.

Hikayat si PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang