Sabar, hari esok sudah antri

4 3 0
                                    

Dan setelah hari itu, Aku pun semakin mengetahui hukum alam di ibukota Jakarta yang kupijkan kakiku ini di atasnya. Kerasnya cara orang-orang di tanah Ibukota yang melebihi ekspetasi kepalaku. Karena Aku dulu berfikir,"seperti apa ya kerasnya mengadu nasib di tanah rantau yang terkenal dengan narasi Jakarta keras."Tanya kepalaku pada diri sendiri kala Aku masih berada di kampung halamanku.

Saat Aku mengalami dan marasakan semua itu, Aku pun menjadi lebih mengetahui dan bisa menyiapkan langkah apa yang harus diriku lakukan kedepannya. Dan ternyata benar,"Belajar dari pengalaman adalah suatu cara membuat diri menjadi selangkah lebih baju dari orang lain.." Karena jika Aku tidak belajar dari pengalaman sejak Aku turun dari kapal yang membuatku mengapung-apung sampai di Ibukota, mungkin Aku sudah menyerah dan menggunakan Uang yang sudah Aku tabungkan selama kurang lebih satu setengah tahun itu, kubeli kan tiket kapal laut untuk pulang.

Aku pun melanjutkan hidupku dengan kerja keras, namun memakan sesuatu yang kurang menambah energi. Karena, Aku harus lebih bisa mengirit-irit uangku untuk terus memodalkan usahaku. Agar barang daganganku menjadi lebih banyak. Dan mempunyai untung dagang yang lebih banyak pula setiap harinya.

Selama 3 tahun, Aku merasa itu memang lah tahun yang sangat penuh dengan rezeki melimpah untukku. Karena selama 3 tahun lebih Aku berdagang dengan modal yang Aku kumpulkan sendiri, Pada tahun 1992 Aku berhasil membuat konveksi kecil-kecilan ku sendiri. Pada kala itu, sebenarnya modal yang Aku punya sangatlah sempit, dan sangat penuh resiko jikalau Aku membuat konveksi. Akan tetapi, perjuangan pasti membutuhkan pengorbanan pula, dan Aku percaya akan hal itu.

Selama 3 tahun lebih Aku berhasil membuat konveksi tas yang memang belum sebesar konveksi Pak Ujang. Tapi Aku merasa bangga dengan diriku sendiri pada kala itu. Karena, Aku memang bermimpi tinggi, tapi Aku tidak tahu apakah mimpiku akan terwujud atau tidak. Yang Aku tahu hanyalah, Aku hanya cukup berusaha dengan tekun, untuk hasil akhir biarlah yang maha kuasa yang menentukan hal itu.

Konveksiku pun memproduksi Tas yang design yang Aku buat sendiri. Karena biar gimanapun juga, Aku tidak mungkin melupakan segudang ilmu yang Aku dapatkan selama 1 tahun 6 bulan saat bekerja dengan Pak Ujang. Dan entah kenapa, ternyata design yang Aku buat memenuhi permintaan pasar sekitar Jakarta. Padahal, Aku melihat bahwa design yang kubuat, sepertinya biasa saja. Dan mungkin karena Aku terlalu memandang rendah keahlian diriku sendiri. Namun pada kenyataannya, tidak seburuk dari apa yang otakku bayangkan. Itulah hal buruk yang harus dibuang jauh-jauh bahkan harus dihilangkan dari dalam diri dan pemikiran.

"Karena disaat kita berfikir tidak bisa melakukan apa-apa, maka di saat itulah kita membuat Tuhan berfikir untuk mencabut nyawa kita."

Konveksiku berjalan dengan lancar dan permintaan pasar setiap laporan bulanan pun semakin meningkat dengan pesat. Tidak ada kata lain dalam hati dan otakku, yang membuat mulutku ini berucap kata-kata, selain Alhamdulillah untuk memanjatkan puja dan puji syukurku kepada Tuhan.

Dan karena hal itu, Aku berniat untuk menambah konveksi dengan bangunan yang lebih besar lagi dari konveksi pertamaku. Yaitu, untuk agar usahaku dapat memenuhi permintaan pasar yang sangat meningkat pesat kala itu.

Tahun 1992 adalah masa kejayaanku yang benar-benar melambungkan namaku. Bahkan, karena hal tersebut sampai-sampai saat Pak Ujang bermain untuk melihat-lihat usah konveksiku, seolah keadaan berbanding terbalik di saat dulu. Pada saat 4 tahun yang lalu Aku melihat konveksi Pak Ujang dan berkata,"kira-kira kapan ya Aku bisa mempunyai usaha sebesar ini."

Namun pada saat Pak Ujang melihat kemajuan usahaku yang sangat pesat, Pak Ujang lah yang berkata,"Kapan kira-kira konveksiku sampai bisa sebesar seperti ini."dengan tangan kebelakang sembari berjalan untuk melihat para pegawaiku.

Tapi, saat ia sedang melihat-lihat dan berkata seperti itu, Aku pun turut melanjutkan kata-kata yang ia lontarkan itu dengan setetes air mata yang dikeluarkan oleh bola mataku dari sisi kanan,"Tapi semua ini karena kebaikan diri-mu Om."

Karena mungkin, jikalau Aku tidak dipekerjaan olehnya dan mendapat bayaran yang cukup lumayan tinggi, Aku belum tentu bisa menjadi seperti saat ini. Kegigihanku selama kurang lebih 4 tahun Aku berdagang sendiri, seolah hanya sebagai Aku melewati jembatan dengan cara berlari. Jikalau bukan tanpa kebaikan Pak Ujang, mungkin Aku bisa sampai, tapi entah butuh waktu berapa tahun Aku bisa menjadi cukup sukses. Bahkan, tidak menutup kemungkinan pula Aku tidak bisa menjadi seperti itu.

"sampai kapanpun tidak akan pernah kulupakan tiap tetesan air, butiran beras, dan sehelai benang pakaian pun yang telah kau berikan padaku."sambil tertunduk, dengan lintasan lengkap tayangan kebaikan Pak Ujang di kepalaku.

"Dan hanya perihal waktu saja ya Om, kapan waktu yang tepat Aku harus bisa membalas semua kebaikan Om yang tiada ujung pangkalnya itu."Tuturku dalam perasaan yang sangat sukacita kala itu.

* * *

Tapi lama kelamaan, Aku melupakan seluruh nasihat mutiara dari Ibuku satu per satu. Kesuksesan menggiring diriku kedalam ruang keangkuhan. Kulupakan kewajibanku sebagai umat berAgama satu persatu semakin harinya. Dan tidak Aku terapkan lagi seluruh ucapan Ibuku yang sebenarnya itu membuatku bisa sampai sesukses ini.

Karena Aku sudah menjadi bos besar konveksi Tas wanita, Aku pun menghabiskan hari-hariku hanya dengan bangun siang tanpa melaksanakan sholat subuh. Tidak ingin Aku makan di tempat makan pinggi jalan, karena menurutku itu tidaklah bersih untuk di cerna oleh perut mahalku. Aku pun sampai menyumbangkan seluruh pakaian gembelku dan mengganti penampilanku dengan barang-barang yang mahal.

Aku pun sering bermain ke pasar dengan waktu yang bebas untuk sedikit menghibur diriku dengan tatapan banyak pasang mata melihatku mengenakan barang-barang mahal. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kakiku.

Dan pernah suatu saat Aku pergi untuk berkeliling-liling pasar, secara tidak sengaja Aku melihat preman yang 4 tahun lalu telah membuatku seperti tidak mempunyai harga diri. Dari jarak yang tidak terlalu jauh dari tempat preman-preman itu di tempat Ia dan teman-temannya sedang asik bersendau-gurau dan menghitung uang keamanan yang Ia dapatkan.

Seketika, terlintas jelas hal-hal pahit 4 tahun silam dalam kepalaku. Atas perlakuan apa yang telah Ia lakukan pada Gibran yang dulu masih menjadi gembel Jakarta. Aku menghampiri mereka?, Tidak. Aku hanya menghafalkan wajah mereka kembali dan mengingat dengan pasti tempat para preman-preman itu berkerumun.

Karena melihat mereka kembali dan teringatkan pada kejadian 4 tahun silam atas perbuatan mereka padaku. Aku pun tidak enak hati lagi untuk melanjutkan agenda safariku di pasar pada hari itu. Padahal, saat itu hari masih siang dan tentu saja suasana pasar sedang padat oleh para pengunjung dan para pedagang di pasar. Cocok sekali bukan?, untuk seorang Gibran menyombongkan dirinya di hadapan mereka yang dulu hanya memandang diri ini sebelah mata saja. Tapi lagi-lagi Aku karena melihat preman-preman bengis itu, Aku pun langsung balik badan untuk pulang kerumah mewahku.

Ingin cepat-cepat saja Aku sampai kerumah dan segera tidur, untuk menanti kebahagiaan yang sudah Aku jamin kedatangannya di esok hari. Aku sangat menjamin sekali pada hari itu, bahwa dengan uang yang Aku punya, kebahagiaan di hari esok telah menunggu diriku. Karena uang yang Aku miliki, hari esok pun menunggu untuk menghiburku.

Betapa sombongnya diriku karena memang Aku merasa, Aku sudah pantas untuk sombong pada orang-orang yang dulu telah memandangku sebelah mata.

"sudahlah Gibran, masih ada jutaan hari esok yang menunggumu secara antri, untuk melihatmu tertawa."Dengan gaya yang perlente, Aku pun bergegas pulang dengan wajah tersenyum yang membayangkan betapa bahagianya diriku esok hari.

Hikayat si PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang