Tidak tersadar kapal laut yang Aku naiki pun telah sampai di dermaga. Sebuah Dermaga yang menjadi sebuah titik awal langkah kakiku yang sebenarnya. Langkah kaki yang entah mendapatkan hasil akhir yang baik atau entah malah sebaliknya. Yang hanya ku bisa adalah, terus berusaha dan berdoa. Karena memang itu yang selalu di tekankan oleh Ibu saat sebelum Aku pergi.
Aku pun turun dari kapal dengan langkah kaki kanan terlebih dahulu. Agar menjadi suatu langkah awal baik yang dimulai oleh awalan kaki yang baik pula. Aku pun langsung mencari tempat yang menjual makanan berat untuk Aku mengisi perutku yang sudah keroncongan.
Aku bisa saja membeli makanan pada para penjual di atas kapal laut sebelumnya. Tapi Aku memutuskan untuk tidak membelinya dan menahan laparku sampai kakiku menyentuh daratan kembali. Yaitu dengan alasan, harga yang banderol para penjual kapal menurutku sangatlah mahal. Aku mampu untuk membeli makanan yang di jajakan oleh para penjual di kapal tersebut. Tapi mungkin Aku harus mengurangi jatah makanku saat Aku sudah tiba di Jakarta.
Aku pun menghampiri salah satu tempat makan sederhana yang jaraknya tidak jauh dari pelabuhan. Karena Aku harus makan agar staminaku kembali. Agar Aku bisa melanjutkan tujuanku selanjutnya.
Saat itu Aku tidak mengetahui berapa harga makanan yang di banderol di Jakarta, Aku pun menanyakannya terlebih dahulu. Karena Aku harus tetap mengatur uang yang Aku punya saat itu. Agar tidak habis sebelum Aku sampai tujuan. Apakah harga makan di tempat itu lebih mahal, atau mungkin lebih murah jika di bandingkan harga makanan di atas kapal sebelumnya. Dan ternyata memang harga makanan ditempat tersebut pun lebih murah walaupun perbandingan harganya tidaklah terlalu jauh.
Aku pun memesan makanan yang sederhana dengan lauk pauk yang mempunyai harga lebih murah. Sebelum Aku makan, Aku pun membuka jaket yang Aku kenakan sebelumnya. Dan saat Aku melepaskan jaket tersebut. Aku pun mendapati sesuatu terjatuh dari saku jaket yang Aku kenakan.
"Slapp...(bunyi benda tersebut yang terjantuh ke lantai)."
Aku pun langsung mengambilnya karena memang benda tersebut terjatuh dari jaket yang Aku kenakan.
Benda tersebut adalah secarik kertas kecil yang terlipat rapih. Aku pun langsung membuka kertas tersebut sembari mengunyah makan yang sedang Aku makan saat itu.
Di kertas tersebut terdapat sebuah tulisan yang menunjukan sebuah alamat dan beberapa pesan dibawahnya yang berisikan.
"Gibran, Ibu khawatir saat kamu sampai Jakarta, Kamu tidak tahu ingin pergi kemana. Tolong pergi ke Alamat ini, dia teman baik Ibu. Mungkin dia bisa membantu kamu di Jakarta."–(Ibu-mu).
Saat Aku membaca tulisan tersebut yang ternyata Ibu yang menuliskannya, ada perasaan sedikit kesal dalam diriku. Aku merasa Ibu memperlakukanku seperti Anak kecil. Aku merasa Ibu tidak yakin atas perantauanku ke Jakarta.
Namun, tiba-tiba Aku pun teringat perkataan Ibu padaku dulu. Ibu pernah berkata."Sebesar atau sekuat apapun seorang anak tumbuh. Tapi di mata Orang tuanya tetap saja ia seperti Bayi yang di timang-timang sebelum tidur."
Karena teringat perkataan Ibu dulu padaku, Aku pun mulai menurunkan egoku dan mengerti perlakuan Ibu tersebut padaku. Bukan karena Ibu tidak yakin atau menganggap diriku lemah. Akan tetapi, tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya kesusahan.
Perihal alamat tersebut, Aku pun langsung memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang bapak-bapak yang sedang memesan makanan tepat di sebelahku. Aku berani pun karena memang Aku melihatnya masih memesan makanan. Jadi Aku berfikir,"sebaiknya Aku tanya saja selagi bapak ini masih menunggu pesanannya."Ucapku dalam hati.
"Pak..., maaf menggangu. Boleh saya tanya sesuatu pada bapak?." Ucapku kepada bapak di sebelahku.
"Ohiyaa nak boleh... Kamu ingin tanya apa memangnya?." Jawab pertanyaanku dengan santun.
"Saya baru di Jakarta, saya perantau dari desa. Saya mau tanya Alamat ini Pak. Apakah bapak tahu?"dengan Aku menunjukan kertas yang bertulis-kan alamat tersebut.
(Sembari membaca, si bapak pun menjawab)."Ohhh saya tau ini... Kamu harus naik bus besar dari terminal. Warna Busnya biru... Nanti setelah itu kamu naik angkot dan tanya kembali saja alamat ini. Pasti supir angkot di daerah sana mengetahui alamat ini."menunjukan terminal yang di maksud dengan jarinya.
Mendengar penjelasan si bapak tersebut yang menunjukkan harus menaiki bus terlebih dahulu, Aku pun diam termenung dan langsung merogoh sakuku. Aku melihat sisa Uang yang tersisa dan menghitungnya. Apakah Uangku cukup untuk sampai alamat teman Ibu yang diberikannya?. Bertanya-tanya dalam hatiku dengan termenung memikirkan apakah kaki ini dalam lanjutkan langkahnya.
Menyadari Aku yang sedang menghitung uang, si bapak tersebut pun berkata.
"Uang kamu kurang ya nak?. Memang sih harga tiket busnya cukup mahal juga."menatap ke arahku dengan tangannya yang memegang kakiku yang sedang terduduk."
Aku pun bertanya kembali kepada bapak yang sedang berbicara denganku. Dan karena kecemasanku itu, Aku sampai kehilangan selera makan yang pada sebenarnya Aku sangat lapar.
"Pak, apakah tidak ada kendaraan atau cara lain, selain menaiki bus tersebut?." Dengan kepala yang tertunduk dan wajah yang muram.
Sang bapak pun tidak menjawab dan hanya terdiam. Seolah bapak tersebut bingung dan merasa tidak enak hati karena tidak tahu harus menjawab apa selain jawaban yang membuatku semakin muram.
Namun secara tiba-tiba, bapak tersebut pun menepuk pundakku yang lemas dan membuat pundakku tegap kembali.
"Begini saja nak, Bapak mungkin bisa mampir lewat tujuan kamu itu, Tapi bapak tidak bisa mengantar tepat pada alamat yang kamu tuju itu. Karena bapak harus mengantar barang yang ingin bapak ambil di kapal nanti. Dan apakah kamu bisa membantu bapak mengangkat sedikit barang-barang nanti?"Dengan kepala yang sedikit miring untuk melihat mataku yang tertunduk lesuh.
Mendengan ajakan bapak tersebut Aku sangat senang. Aku tidak tahu mengapa bisa kebetulan seperti itu. Tapi yang jelas, Aku yakin ini karena do'a dari Ibu yang selalu menyertaiku dan juga dari niat baik Aku pergi merantau. Karena ucapan bapak tersebut, Aku pun tidak perlu berfikir lama.
"Benarr pak?, Bapak bersedia untuk lewat ke arah yang saya tuju?"Dengan perasaan sangat senang, dan wajah yang seketika tersenyum lebar.
"Masa sudah bapak-bapak bercanda. Bagaimana?, kamu keberatan tidak apabila membantu bapak untuk mengangkat sedikit barang ke dalam mobil bapak?." Tanya bapak kembali padaku.
"Iyaaaa pak, Tentu saya bersedia!"dengan sangat kegirangan Aku menjawab pertanyaan bapak tersebut.
"Yasudah, Habiskan makan kamu secepatnya, Bapak juga ingin makan. Lapar sekali bapak ini."Sembari memegang perut yang sepertinya sudah keroncongan.
"baik pak baik."
Aku pun segera melanjutkan makanku yang sebelumnya sempat terhenti karena rasa cemasku.
"Terimakasih ya Allah. Engkau telah mengirimkan orang baik untuk membantu hamba melanjut-kan langkah kaki ini."Ucap syukurku dalam hati dengan mulut yang sembari mengunyah makanan dan helaan nafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
Non-FictionBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...