Dipilih oleh Hidup

14 3 0
                                    

Banyak orang berkata, hidup itu kita yang menentukan ingin seperti apa. Mungkin saja itu untuk kebanyakan orang, tapi tidak untuk sedikitnya orang bernasib seperti diriku. Aku tidak bisa menentukan warna hari-hariku. Hanya dua warna yang aku kenal dalam hidupku saat itu, yaitu Hitam dan Kelabu. Karena jika Aku mengenal warna lain, itu hanya akan percuma saja, karena Warna lain tidak mengenal denganku yang karena memang aku tidak pernah mencicipinya.

Bahkan untuk perihal pendidikan saja pun Aku harus terbelakang. Bukan terbelakang secara nilai, melainkan dari barang yang Aku gunakan. Sepatu, Seragam sekolah, Kaos kaki, dan bahkan sampai Tasku pun terbuat dari karung goni, itupun karung goni bekas barang dagangan ibuku. sangat tidak nyaman sebenernya untuk digunakan, karena apabila serabut-serabut halusnya mengenai kulit, itu akan terasa gatal.

Seragam yang Aku kenakan hanya satu, itupun bergantian dengan kakak perempuanku. Karena memang kebetulan Waktu sekolahku Pagi, sedangkan kakaku Siang. Hanya satu barang saja yang Aku kenakan hanya untuk diriku sendiri. Yaitu Celana dalam, Hehehe~.

Disuatu pagi yang dingin dengan berselimutkan langit yang cerah pula, Aku terpaku karena terbesit pemikiran yang mungkin saja dapat membuatku tidak kuat untuk melanjutkan hidup yang sangat amat menyengsarakanku. Atau mungkin juga pemikiran itu dapat membuat Aku lebih terpacu untuk membuktikan kepada orang- orang, kepada dunia. Bahwasanya, emas yang mahal harganya, berawal dari dalam tanah yang kotor.

Saat itu di sebuah jalan yang mengarah pada sekolahku. Aku melihat tidak sedikit teman-temanku mengenakan pakaian yang sangat bersih, rapih, dan wangi. Hal itu sangatlah berbanding terbalik bahkan sangat jauh dari kata mirip dengan apa yang Aku rasakan. Pakaianku kusam, seragam putih sekolahku pun sudah menguning, lipatan bajunya sangat abstrak, dan bahkan saat angin berhembus, akan tercium aroma yang tidak enak untuk di hidup oleh hidung siapapun termasuk hidungku.

Aku berfikir, Aku memang terlahir susah, tapi Aku yakin Aku mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan oleh orang-orang lain. Tapi keistimewaan apa yang aku punya?, perbedaan mencolok apa yang membedakan Aku dengan anak-anak lainnya?.

Ohiyaa Aku tahu!, perbedaan yang mencolok Aku dengan anak-anak lainnya sangatlah banyak. Karena terlalu banyaknya, sampai tidak ada yang benar-benar menyamaiku. Yaitu, Aku tidak pernah mengenakan baju putih, Aku tidak pernah membuat orang melihatku karena aroma tubuhku yang wangi, bak setangkai bunga yang menjadi daya tarik bagi sekelompok lebah.

Sampai-sampai Aku pun tidak mengetahui salah satu kegunaan dari memakai sepatu. Apakah agar kaki tidak kotor karena tertutup balutan kain dan sol karet yang kuat?. Mungkin itu berlaku bagi orang-orang lain yang menggunakan sepatu yang masih layak. Berbeda halnya denganku. Karena sepatu yang Aku kenakan sudah tidak lagi tertutup rapat, melainkan sudah banyak lubang di berbagai sisi. Debu jalanan dapat masuk ke sela-sela jariku. Bahkan, apabila sepatu anak-anak sebayaku dapat menjadi wadah penampung air, maka akan sia-sialah air yang masuk ke dalam sepatuku dan tidak akan terisi penuh. Jangankan terisi penuh, beberapa "centi" pun tidak, karena terlalu banyak lubang untuk membantu mengeluarkan air yang telah masuk walau sebanyak apapun.

Memang kerap kali hidupku mendapati hal yang mungkin saja membuat kebanyakan orang yang merasakannya tidak bersyukur. Tapi Aku sudah terbiasa dengan hal-hal pahit tersebut. Jadi, karena keterbiasaan tersebut membuat Aku menjadi terbiasa menjalani kehidupan pahit yang apa adanya walaupun, sering kali mengeluh.

Namun walaupun demikian, pasti juga tuhan memberikan sedikit hal yang membuat hidupku seimbang. Memang kesenanganku tidak seperti kesenangan orang-orang pada umumnya. Kesenanganku sederhana, tidak meliputi materi, melainkan seperti hanya kegiatan atau hal yang membuat batinku merasakan kesenangan dan menggambarkannya lewat senyuman atau gelak tawa.

Waktu kecil dulu, di kampung belum ada lampu seperti lampu-lampu zaman sekarang. Penerangan orang-orang kampung dulu saat Aku kecil masih menggunakan Obor. Jadi sudah pasti setiap warga kampung mempunyai Obor Api untuk penerangan di malam hari. Mungkin itulah salah satu hal yang membuat Aku sama dengan orang-orang di kampungku dulu. Yaitu, sama-sama mempunyai Obor.

Hal menyenangkan namun sangat sederhana saat Aku kecil dulu ialah, disaat malam bulan purnama, atau dapat juga dilihat saat keadaan bulan benar-benar bulat sepenuhnya. Dan karena memang kebetulan rumahku dan beberapa teman-temanku yaitu salah satunya Juno sangat dekat dengan lapangan bola. Hanya sekitar berjalan kaki selama 4 menit untuk Aku sampai ke lapangan bola tersebut apabila berjalan dari rumahku. Dan memang biasanya rumahku yang menjadi titik kumpul apabila ingin bermain dan menjadi tempat istirahat pula saat usai lelahnya bermain.

Saat bulan dalam keadaan bulat terang sempurna. Sangatlah berbeda rasanya untuk bermain sepak bola di bawahnya. Saat hal tersebut Aku lakukan dengan teman-temanku. Aku berfikir, kesenangan yang sesungguhnya adalah kesenangan batin tanpa harus mendepankan sisi materi. Hal tersebut sangat lah Aku rindukan sampai detik ini.

Setiap bulan dalam keadaan bulat sempurna, seolah bulan tersebut menjadi sebuah monitor layaknya televisi. Televisi yang menayangkan Aku dan teman-temanku bermain kala itu. Di saat malam hari yang gelap, api Obor yang menjadi pencahayaan, tidaklah segan-segan untuk Aku padamkan. Tidak ada sedikitpun rasa takut walaupun gelap menyelimuti ragaku. Akan tetapi, terang redup bulanlah yang membuat ketenangan dalam batinku. 

Hikayat si PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang