Aku dan Ibuku pun pergi menuju pasar untuk berdagang. Kendaraan yang Aku gunakan untuk pergi ke pasar adalah dengan menumpang mobil paman Farhan yang memang sering sama-sama mengarah ke pasar Solok tempat Aku dan Ibu berdagang. Karena tidak mungkin juga rasanya jika Aku dan Ibu ke pasar dengan cara berjalan kaki. Bukan karena Aku ataupun Ibu tidak kuat untuk berjalan kaki. Tapi apabila Aku dan Ibu berjalan kaki, maka akan sampai pasar jam berapa?. Yang pastinya saat kami sampai sampai dengan cara berjalan kaki, maka waktu pastinya sudah hampir petang. Berjualan pasar pun sudah tutup, dan tidak akan ada yang berbelanja disana.
Paman Farhan bertempat tinggalkan cukup jauh dari rumahku. Tapi memang kebetulan arah yang di tuju dan jalan yang di lewatinya pun sama dengan Aku dan Ibu, jadi tidak keberatan bagi paman Farhan untuk kami berdua menumpang sampai pasar.
Paman bekerja sebagai supir pengangkut sayur dan sudah lama menggeluti profesi tersebut. Bahkan sebelum Aku mulai mengikuti Ibu berjualan di pasar, Ibu pun sudah menumpang dengan paman farhan sedari dulu Ibu berjualan. Dan berkat paman Farhan juga Ibu-bu bisa mendapatkan sedikit tempat untuk berjualan di pasar Solok.
Ibu dan Aku berjualan Jagung yang sedikitnya kami tanam sendiri di kebun rumah belakang, dan mayoritasnya Jagung yang Ibu dapatkan dari Paman Farhan. Memang cukup besar juga jasa paman farhan terhapa keluargaku untuk menyambung hidup keluargaku. Tapi dengan begitu, bukan tanpa alasan juga paman farhan banyak membantu keluargaku.
Pernah sesekali saat waktu senggang dan Ibuku pun sedang membeli makan dan yang menjaga dagangan pun Aku bersama paman Farhan yang juga sedang berjualan. Aku bertanya perihal perlakuan sangat baiknya terhadap keluargaku. Dengan membantu Ibu mendapatkan sedikit tempat untuk berjualan, memberikan kami tumpangan dari Rumah menuju pasar dengan truck mobil sayurnya, sampai paman Farhan turut berjasa juga membebaskan Ibuku untuk memberikan jatah preman di pasar, karena memang paman Farhan bisa dibilang orang yang sudah cukup lama yang sudah berjualan di pasar solok seperti yang Aku katakan sebelumnya.
"paman,, Gibran mau tanya sama paman boleh."Sembari Aku mengibaskan kipas ke arah badanku karena memang suasana pasar sangatlah panas.
"Yaboleehh.. kamu mau tanya apa memangnya."Dengan paman Farhan menyusun dan merapihkan sayur yang sedikit teracak-acak oleh para pembeli.
"kenapasih... kalau Aku perhatiin ya.. Paman tuh baik banget sama keluarga Gibran, sama Ibu."Dengan sedikit tersenyum malu Aku melihat Paman Farhan.
Dengan pertanyaanku seperti itu, yang sebelumnya paman Farhan sedang merapihkan sayur dagangannya, sampai menghentikan hal tersebut dulu dan duduk mengarahkan hadapannya ke arahku yang duduk di sebelahnya.
"Baik gimana maksud kamu?, kesemua orang pun paman baik, karena memang seharusnya kan seperti itu kita hidup sebagai makhluk sosial."Dengan menepuk pundakku untuk menanyakan lebih detil pertanyaan yang Aku lontarkan padanya.
"iyaa Aku tau paman sesama manusia emang harus begitu, tapi baiknya paman ke keluarga Gibran tuh beda dibandingkan baiknya paman ke orang-orang lain. Kaya paman bantu Ibu buat bisa dagang ditempat pasar ini, ngasih Aku sama Ibu tumpangan di setiap berjalan ke pasar. Bahkan, Paman juga kasih tau ke temen-temen paman yang punya kawasan sekitar supaya ga minta uang lapak ke Ibu karena paman bilang Gibran sama Ibu itu saudara paman." Dengan serius menanyakan hal tersebut kepada Paman Farhan.
Dengan posisi duduk tangan menumpuk ke dengkul kakinya paman Farhan pun menjawab."Ke semua orang pun paman begitu Gibran. Tapi kalau untuk soal bayar uang lapak dan tumpangan aja engga. Kalau semuanya gratis, paman juga rugi gadapet uang tambahan. Dan kalau tumpangan memang kebetulan sekalian lewat."
"nahhh itu maksud Gibran Paman, beda kan. Gibran yakin, pasti paman juga punya temen di pasar ini yang lebih lama dibandingkan pertemanan Paman sama Ibu Gibran. Tapi lapaknya engga Paman gratisin." Dengan pertanyaan yang lebih mendetil agar paman Farhan tidak bisa mengelak dari pertanyaankku.
"Iyaaa iyaa... Paman paham apa yang Kamu maksud", sembari tertunduk dan mungkin masih berusaha memikirkan jawaban pengalihannya.
"Jawab dong paman."Menekan dan untuk membubarkan pikiran paman Farhan.
"sabarr dong, hahaha~."menggaruk kepalanya karena sudah benar-benar tidak bisa mengelak.
Paman Farhan pun akhirnya tidak bisa menghindari dan berusaha untuk mengelak dari pertanyaanku yang semakin menyudutkannya, yang memang kebaikan dia terhadap Keluargaku berbeda dengan yang lainnya.
"Jadi gini, Paman baik ke Keluarga Kamu itu karena memang awalnya Ibu kamu yang berbuat baik sama paman. Dulu itu keluarga paman pernah mengalami masa-masa penceklik, Adik paman, sekarang yang kamu kenal Tante Rika itu sakit demam dan panasnya itu tinggi banget. Paman mau engga ada uang untuk bawa ke dokter. Paman udah pinjem ke teman-teman paman, kesana kemari tapi tidak ada yang mau meminjamkan uang, dengan alasannya sih lagi pada engga ada uang. Paman udah pusing dan panik juga, takut terjadi apa-apa sama adik paman karena memang udah tinggi banget panasnya. Terus saat paman coba pinjam ke Ibu kamu, Ibu kamu langsung memberikan uang yang dia punya, padahal saat itu Ibu kamu lagi kumpulin uang juga. dari situ paman bisa lihat kalau Ibu kamu itu orang baik. Dan saat sejak itu paman berjanji dalam diri paman untuk balas perbuatan Ibu kamu dan sampai kapan pun engga akan pernah paman lupain."Sembari paman melihat ke atas seperti sedang mengingat sesuatu.
"Bangga Aku paman, punya Ibu dengan sifat mulia seperti itu." dengan kepala tertunduk dan sedikit terharu.
"Iyalahhh jelasss haruss bangga. Paman aja bangga punya temen seperti Ibu-mu, masa kamu tidak bangga menjadi anaknya." sembari mengacak-acak rambutku dan tersenyum pula.
"hehehe~, iyaa paman Aku bangga sama Ibuku."dengan senyuman yang lebar mengarah ke paman yang membuatnya juga tertawa.
"Hahahahaa, dasar kamu Gibran."Tawa paman Farhan dengan terbahak-bahak.
Dan tidak lama kemudian, Ibu-pun datang dan bertanya karena saat Ibu datang Aku dan paman farhan sedang tertawa bersama.
"lagi ngetawain soal apa nihhhh, seneng banget kayanya." Dengan wajah kebingungan dan pernasaran.
Dengan kompak sembari tatapan dengan bermaksud menyembunyikan hal tersebut, kami berdua pun menjawab."Engga ada apa-apa, hahahaha~."
"iyaudah-iyaudah dagang lagi, tuh ada yang beli, Gibran Kamu layani dulu ya, Ibu mau makan, udah laper banget." Tercengir sedikit Ibu karena perutnya berbunyi.
Dengan semangat akan perasaan bangga terhadap Ibu, karena sedikit cerita inspiratif tentang Ibu yang diceritakan oleh Paman Gibran sebelumnya Aku pun menjawab."Baiikk Bu...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
Non-FictionBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...