Lakukan Saja

8 3 0
                                    

Guru-guru di sekolahku saat SMP melihat bakar yang ada dalam diriku. Dan pada akhirnya mereka pun menyarankan Aku untuk menunjukan bakatku yaitu, bermain tenis meja. Yaitu, dengan cara mereka memintaku untuk mewakili sekolah tempat Aku belajar, yaitu SMP 1 Kota Padang dalam ajang perlombaan tenis meja.

Namun dengan begitu, keputusan akhir tersebut tetap berada di tanganku. Karena bagaimana pun Aku harus memikirkannya pula untuk turut ikut serta atau tidak. Bahkan, sampai Aku diberikan Hak yaitu layaknya Hak istimewa.

Guru-guru disekolah memberikan Aku keleluasan dalam menggunakan ruang tenis meja yang disediakan sekolahku. Dan bahkan Aku diberikan waktu latihan yang seluas-luasnya walaupun kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Namun, dengan hal itu Aku semakin berfikir untuk tidak mengikuti perlombaan tersebut. Karena, Aku merasa tidak adil. Walaupun, dalam hal tersebut Akulah pihak yang di untungkan tanpa dirugikan samasekali.

Aku diberikan akses bebas untuk berlatih di ruang tenis meja, sedangkan temanku tidak. Aku diberikan waktu seluas-luasnya agar Aku dapat berlatih dengan lebih banyak untuk persiapan perlombaan tersebut. Aku bagaimana seorang Raja yang dimana, adanya sebuah Raja dan ada juga seorang budak.

Aku berfikir, mengapa dengan keahlianku ini, Aku membuat orang lain menjadi terasa tersakit karena kecemburuan sosial yang mereka rasakan terhadapku. Apakah karena Aku ingin mengikuti perlombaan maka diperlakukan seperti itu?. Tapi bagaimana Aku tidak ikut perlombaan?, apakah mereka tetap memperlakukan Aku layaknya seorang Raja?, Aku rasa tidak.

Dan karena hal itulah yang membuat Aku berfikir untuk mengikuti perlombaan tersebut atau tidak, yaitu kecemburuan sosial.

Tapi, setelah Aku menanyakan hal tersebut kepada beberapa teman-temanku di sekolah, mereka bilang itu hanyalah fikiran negatifku saja. Justru mereka berfikir sebalik, dan mereka sangat senang apabila Aku mengikuti perlombaan tersebut, menjadi juara, dan mengharumkan nama sekolah.

Mereka tidak merasakan kecemburan sosial sama sekali terhadapku yang mendapatkan perlakuan khusus dari pihak sekolah untuk sementara waktu. Walaupun, ada juga beberapa yang setuju dengan pendapatku dan sampai tidak ingin Aku mengikuti perlombaan tersebut.

Aku semakin dilema, dan Aku tidak ingin membuat orang sakit hati karena apa yang Aku lakukan, walaupun hal tersebut membuat diriku senang. Karena Ibuku pernah berkata,"jangan sampai menyakiti hati orang oleh perbuatan atau perkataan kita."

Karena hal itu Aku mencoba untuk bercerita dengan Ibuku dan lalu meminta saran terbaik darinya dan tidak terlupakan juga restu-Nya. Karena bagaimana pun juga, Restu orang tua dalam hal apapun yang kulakukan dalam hidup ini, itu sama saja Restu dari Tuhan. Namun tetap saja, hanya dalam hal yang baik-baik.

Saat malam tiba Aku dirumah, Aku menghampiri Ibuku yang terduduk di teras depan rumahku sembari menjahit baju sekolahku yang ditemukan lubang dan harus di jahit.

"Bu... Gibran mau cerita sedikit dan lalu meminta saran Ibu boleh?." sembari membawakan teh hangat untuk Ibu sebagai sajian obrolan.

Sembari menjahit bajuku yang berlubang dengan serius Ibu pun menjawab."Yabolehh dong, masa gaboleh, kamu kan anak Ibu. Emang mau cerita apa? Serius banget nih kayanya."

"serius banget sih engga bu, tapi yaa cuman karena Gibran bingung aja."Sembari menggaruk-garukan kepalaku karena kufikir-fikir, jawaban Ibu benar juga.

"jadi gini Bu, Gibran diminta Guru-guru gibran dan pihak sekolah untuk mewakili perlombaan tenis meja antar sekolah Bu. Tapi, Gibran bingung Bu, Ikut apa engga. Menurut Ibu gimana, Gibran ikut atau engga?." Dengan kaki yang ku ayunkan saat duduk karena kebingungan.

"Yabaguss dong, Ibu ikut bangga juga. Tapi kenapa kamu bingung?." Dengan serius Ibu bertanya sampai menghentikan jahitannya dan menatap ke arah mataku.

"Iyasi Bu... Gibran tau Ibu pasti bangga, dan Gibran pun bangga. Apalagi Ayah, karena salah satu anaknya hebat dalam bidang yang sama. Tapi ada beberapa hal yang buat Gibran Bingung Bu."Dengan kepalaku yang menjadi tertunduk karena tatapan mata Ibu yang sangat amat serius dan penuh keheranan pula.

Hikayat si PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang