Memang, sangat tidak terasa waktu yang telah ku lalui. Waktu-waktu yang terus bergulir dengan angka-angka yang sama di setiap rotasinya. Namun, selalu berbeda di setiap langkahan kaki yang Aku tapaki. Langkahin kaki yang semoga saja semakin menaiki tangga kesuksesan semakin tinggi namun tetap kepada kepala yang melihat ke arah tanah.
Karena, itulah nasihat yang Ibu berikan padaku. Nasihat yang sudah Aku tanamkan dalam diriku sejak dulu, jauh sebelum Aku pergi merantau ke Jakarta. Hal tersebut put jika di ibaratkan,
"bagaikan buah yang tumbuh jauh di atas akar pohon, yang berada dalam tanah. Apa yang harus di sombongkan oleh buah yang ada di atas pohon itu, jika bukan karena kekuatan akar yang menopangnya agar tetap kokoh batang yang merangkulnya."
Begitulah seharusnya setiap manusia berfikir dalam akal sehat yang diberikan oleh Tuhan. Buah ibarat orang yang sudah sukses, dan akar di ibaratkan orang yang telah membuatnya sukses. Entah itu dengan perbuatan secara langsung ataupun dengan bantuan Do'a yang sangat tulus.
* * *
Keesokan harinya setelah hari kemarin Aku berbicara jujur tentang apa permintaan dan keinginanku untuk menjadi seperti apa pada Pak Ujang, Aku pun memberes-kan barang-barangku. Barang-barang yang sudah bertambah dari jumlah yang ku bawa dari desa dulu.
Membereskan barang-barangku dengan teringatkan kenangan-kenanganku bersama Pak Ujang sejak awal Aku datang, sampai hari itu Aku pergi. Pak Ujang saat itu sedang berada di lantai bawah rumahnya. Ia bilang ingin menghantarkanku menuju tempat kost yang sudah Aku temukan untuk atap baruku. Karena begitu banyak jasanya pada ku sampai hari dimana Aku harus keluar dari rumahnya itu, Aku pun tidak bisa menolak tawarannya.
Setelah aku membereskan seluruh barang-barangku, jika di saat Aku datang kerumahnya dengan hanya membawa barang-barangku dengan tas, tapi saat itu Aku harus membawa barang-barangku dengan koper. Seperti yang Aku katakan sebelumnya, selama 1 tahun 6 bulan Aku tinggal dirumah dan bekerja padanya juga, Aku bisa membeli beberapa pakaian baru.
Aku pun turun dan menghampirinya tanpa berkata namun dengan membawa koperku untuk menjadi sebuah isyarat bahwa Aku sudah siap untuk pergi dari rumahnya. saat Aku turun dengan bawaanku, terlihat kembali tetesan air mata Pak Ujang pada saat itu.
Saat itu Aku pun mengetahui dengan sangat jelas karena apa ia menangis.
"Tapi ini harus kulakukan, untuk menjadi lebih kuat dan lebih tangguh untuk meraih kesuksesanku."Ucapku saat itu saat melihatnya menangis karena kepergianku.
Kala itu Pak Ujang hanya meneteskan air matanya saja tanpa berdiri untuk bersiap menghantarakanku ke tempat tinggal baru, seperti apa yang ia tawarkan padaku. Aku pun berfikir,"jika Aku tidak berkata apapun padanya, maka hal ini akan menjadi lama dan semakin teringat pula kenanganku bersamanya dirumah ini."Ucapku.
Karena hal itu, Aku pun mengeluarkan ucapan pada Pak Ujang,
"Om... Yu berangkat!!"panggilku dengan senyuman yang sebenarnya dalam hatiku terharu pula.
"Ohiyaa.... sebentar ya Om ingin mencari kunci mobil dulu."Berdiri dia dengan gelapan sembari mengusap air matanya dengan bahunya.
"Baik Om, Gibran tunggu depan ya Om?"Tanyaku padanya.
"Iyaa benarr kamu tunggu depan saja. tidak lama kok."Pungkas Pak Ujang.
"Baik Om...Aku kedepan duluan ya."Jawabku sembari menarik dan mengangkat barang bawaanku.
Aku pun berjalan kedepan dengan membawa barang-barang bawaanku yang cukup banyak bertambahnya. Maka dari itu, Pak Ujang menghantarkanku dengan menggunakan mobil. Tidak dengan menggunakan motor, atau hanya dengan berjalan kaki saja.
Setelah kurang lebih 5 menit Aku menunggunya yang sedang mencari kunci mobil, Pak Ujang pun keluar, dan ada hal yang membuatku heran. Hal yang membuatku heran ialah, karena Pak Ujang mengenakan jaket kulit tebal. Padahal saat itu ialah siang hari dan sangat panas. Tidak mungkin juga Pak Ujang akan merasa kedinginan sedangkan cuaca siang hari panas. Dan sangatlah tidak masuk akal sekali rasanya jika Pak Ujang takut hitam. Karena, kulit Pak Ujang pun sudah gelap.
Tapi yasudahlah tidak apa, selagi Pak Ujang nyaman mengenakannya itu tidak ada masalah untukku walaupun sedikit membuatku berfikir.
Setelah itu, Pak Ujang mengeluar-kan mobilnya dari bagasi tempat ia memarkirkan mobilnya itu, Lalu Aku dan Pak Ujang pun langsung menuju tempat tinggalku yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
Literatura faktuBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...