Setelah tidak lama berjalan kaki bersama Pak Ujang selama kurang lebih 15 menit."Wuiiihh.... Besar sekali ya!"Ucapku spontan saat sampai dan melihat tempat usaha pak Ujang. Sebuah konveksi yang menurutku sangat besar dengan jumlah pegawai yang cukup banyak.
"Aku yakin sekali ini, pasti penghasilan per-bulannya sangat besar sekali. Pantas saja Pak Ujang sampai bisa membeli rumah, mobil, dan sepeda motor."Ucap kagumku pada Pak Ujang.
Tapi, setelah beberapa saat Aku berfikir demikian. Berfikir bahwa Pak Ujang sangat sukses dengan apa yang ia punya saat ini. Dan Aku pun berfikir pastinya Pak Ujang bahagia sekali, itu tidaklah benar. Aku memang tidak pernah menanyakan perihat tersebut pada Pak Ujang secara langsung. Namun, jika teringat apa yang Aku ketahui kemarin. Sepertinya kebahagiaan Pak Ujang baru hanya 25% saja.
Karena seperti apa yang ia katakan sebelum,nya. Bahwa, 75% kebahagiaan hidupnya, adalah bersama istri dan anaknya. Namun, saat ini hanya tersisa anaknya saja. Dan hal tersebut pun mengajariku akan suatu hal. Tentang apa itu kebahagiaan sebenarnya dan sudut pandangku tentang uang.
Pak Ujang memang sudah cukup sukses dan mungkin mempunyai uang yang banyak pula jika memang dilihat dari besar usaha dan bisnisnya. Tapi apalah arti semua itu tanpa seorang yang sangat ia cintai di sampingnya. Memang Pak Ujang sangatlah mencintai istrinya. Tapi tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah-lah yang lebih sayang dan lebih mengetahui apa yang terbaik untuk umatnya.
* * *
Saat Aku terdiam karena kagum melihat usaha Pak Ujang di depan pintu yang terlihat banyak karyawannya yang sedang bekerja, Pak Ujang pun mengagetiku.
"Heiiiieeee...."Dengan menepuk pundakku.
"duhh... si Om ngagetin aja aahh..."ucapku yang terkaget.
"yalagian kamu, siang-siang bolong dan rame begini malah bengong."
"Habis Aku takjub Om melihat usaha Om yang sangat besar ini. keren banget emang si Omku ini."dengan dua acungan jempolku padanya.
"Heleeehh-heleh ..., bisa aja kamu ini."dengan sedikit senyuman malu.
"Aku seriuss Om..."
"sudah-sudah jangan banyak bicara terus kamu. Hayo cepat masuk, agar Om bisa mengajari kamu tentang Apa yang akan kamu kerjakan."Dengan rangkulan tangannya di pundakku.
Jika sebelumnya Aku hanya berdiri di depan pintu dan melihat banyak pegawai Pak Ujang sedang bekerja dan berlalu lalang mengangkat barang, tapi saat itu Aku pun di bawa lebih dalam lagi untuk melihat seluruh aktifitas usaha Pak Ujang.
Pak Ujang pun mengajakku melihat-lihat tempat usahanya dan memberitahukan padaku juga tentang alat-alat dan bagian-bagian pekerjaan disana. Dan di usaha tersebut, Pak Ujang seperti mempunyai pekerja yang baik dan ramah. Karena selama Aku di ajak melihat-lihat usahanya tersebut, para pegawai tersebut saat saat mereka melihat aku menatap ke arah mereka. Aku tidak tahu entah atau karena memang ramah, atau karena Aku sedang berjalan bersama bosnya. Tapi yang jelas, seperti apa yang sebelumnya Aku katakan. Aku harus membuang jauh-jauh fikiran burukku terhadap orang lain tanpa memandang siapapun orang tersebut.
Pak Ujang pun mengajariku bagaimana menghitung barang bahan baku yang masuk, keluar atau yang akan di pakai, dan juga bahan baku rusak yang harus di retur atau di tukar-kan kembali.
Di konveksi tersebut Pak Ujang memproduksi tas wanita yang memang katanya paling banyak permintaannya di pasar. Yang menjadi tambahan rasa kagumku terhadapnya ialah model tas yang ia produksi adalah hasil dari gambarannya sendiri. Jadi bisa dibilang Pak Ujang pun termasuk menjadi pekerja di konvesi miliknya tersebut.
Dan Pak Ujang pun juga setiap 6 bulan sekali berangkat ke china untuk membeli produk tas impor. Yang katanya juga hal tersebut dilakukannya untuk menyeimbangi dan agar pelanggan yang mencari tas import tidak mencari di toko lain. Pengalaman yang sangat berharga sekali saat itu yang membuatku termotivasi pula untuk mempunyai usaha sendiri.
Karena memang, sedari dulu cita-citaku ialah menjadi seorang pengusaha sukses.
* * *
Setelah Aku hampir sudah di beritahu-kan oleh pak Ujang dan ternyata Pak Ujang melihat sedikit kelebihan dalam diriku. Yaitu, cepat mengerti saat Aku di ajari olehnya cara mengolah usaha tersebut.
"Gibran..."
"iyaa Om kenapa?"Jawabku.
"Jadi mulai besok pekerjaan kamu cukup mencatat barang masuk, barang keluar, dan barang rusak saja dulu ya. Karena memang seperti itu yang paling kecil resikonya. Tidak apa kan?"tanya Pak Ujang padaku.
"Ohjelasss gapapa Om....Sudah diberi pekerjaan saja Gibran sudah senang."Jawabku dengan wajah yang senang.
"Tapi memangnya tidak apa om kalau Aku langsung mengurusi itu?"tanyaku pada Pak Ujang.
"Yamemangnya kenapa, itu mudah dan kamu sudah mengerti-kan."Tanya kembali pak Ujang atas pertanyaanku.
"Yasoalnya kan Gibran baru..., di tambah lagi apa Om percaya pada Gibran untuk mengurusi hal tersebut. di tambah lagi itu persoalan bahan baku om."Dengan cengiran malu wajahku pada Pak Ujang.
"loh... loh... loh... Kamu ini. sini kemari duduk, biar Om kasih tau pada-mu."Ajak-kan Pak Ujang padaku untuk duduk di bangku pojok tempat usahanya.
"kenapa Om."Tanyaku langsung padanya.
"Kamu ini ngomong apa."
"Om percaya atau tidak sama kamu?"tanya Pak Ujang padaku dengan tatapan yang cukup serius.
"iii...iii... iyaa om."Jawabku dengan gugup.
"Biar Om kasih tau pada-mu. Om sangat kenal dekat denga ibu-mu, Om sangat tahu bagaimana caranya si Rosma itu mendidik-mu. Jadi tidak mungkin dia mendidik kamu menjadi anak yang pembohong."Ungkap Pak Ujang.
Aku pun hanya tersenyum diam di hadapannya yang berbicara seperti itu. Dan belum lama ia berucap sebelumnya, ia pun memberitahukanku suatu perkataan yang sampai saat ini masih jelas tercatat di kepalaku.
"Gibran, bagaimana bisa seorang petani ulung menanam bunga dengan hasil yang buruk."Tuturnya padaku.
Pada saat itu Aku tidak tahu sama sekali apa maksud ucapanya itu. Sampai Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri dan tidak menemukan jawaban. Aku adalah salah seorang yang mempunyai sifat apabila tidak tahu lebih baik Aku bertanya. Karena jika malu bertanya, kita akan sesat di jalan. Itu adalah petuah orang tua yang anak Sekolah Dasar pun sudah pasti pernah mendengar dan tahu artinya. Tapi, tidak dengan kata-kata yang Pak Ujang keluarkan padaku saat itu.
"Om..., Maksud dari kata-kata Om itu apa ya?"Dengan wajah yang kebingungan Aku bertanya padanya.
Tapi, Pak Ujang menjawab, tapi bukan isi dari pertanyaanku. Ia pun hanya sedikit tertawa melihatku, mengacak-acak rambutku layaknya anak kecil dan berkata,
"suatu saat pasti kamu akan mengetahuinya. mengetahuinya seiring kamu menjalani hidup ini."
Lagi-lagi Aku pun semakin dibuat bingung karena di saat Aku bertanya mengenai hal yang tidak Aku ketahui, Pak Ujang pun tidak memberikan jawaban atas pertanyaanku itu. Dan malah mengajakku untuk makan.
"Yasudah, sekarang ayo kita makan dulu. Karena jalan tadi, Om jadi lapar lagi, hahahaha."Dengan tawa yang membuatku tersenyum dari rasa bingungku pula.
"Aduh...Pak Ujang memang selalu membuatku bingung sedari Aku datang kerumahnya."Ucapku dalam hati dengan helaan nafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
Non-FictionBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...