Tiba saat waktu Aku sedang duduk, di pasar dengan sembari menjaga dagangan Ibuku. Aku melihat tepat di depan mata kepalaku sendiri. Seseorang anak muda yang menghampiri Orang tua kala itu Aku tidak mengetahui dengan persis siapa dan ada hubungan apa antara anak muda tersebut dengan orang tua yang di hampirinya. Yang terpenting bagiku adalah apa yang Aku dengar dari percakapan antara anak muda dan orang tua tersebut,
"Bu..., ini ada kiriman Uang dan Surat dari anak Ibu dari Jakarta."Tutur anak muda itu kepada orang tua tersebut.
"Ohiyaa..., terimakasih ya nak."Dengan senyuman dan sembari mengusap kepala Anak muda tersebut.
Dan tidak lama, pemuda itu pun pergi. Tapi fikiran luas dan keberanianku pun datang. Aku tersentuh dan sangat ingin seperti anak yang mengirim-kan Uang tersebut dari Jakarta.
Karena memang sudah sepantasnya, dimasa tua Ayah dan Ibuku sudah tidak lagi bekerja.
"Aku juga ingin Ayah dan Ibuku hanya duduk dirumah, berolahraga, dan berganti-an lah menjadi tugasku yang membiayai kebutuhan hidup mereka berdua."Ucapkku dalam hati kala itu di tengah ramainya pasar.
Saat itu Aku pun tidak pernah menunggu atau terburu-buru ingin pulang. Bahkan tidak jarang juga Aku menanyakan Jam sudah menunjukan pukul berapa kala itu. Karena Aku ingin pulang dan dengan segela Aku ingin memecah-kan celengan yang berisikan Uangku. Uang yang telah Aku tabung sekitar kurang lebih dalam kurun waktu 5 tahun.
Dan Aku pun berharap bahwa Uang itu cukup untuk bekalku untuk merantau dan mengadu nasib ke Ibu Kota.
Fajar pun sudah mulai tenggelam dan hari pun menunnjukkan bahwa gelapnya malam akan segera hadir. Saat itu-pun tanpa Ibu menyuruhku merapihkan barang-barang dagangan, Aku sudah langsung merapihkannya. Sampai Ibu pun terheran dengan gelagat tingkah lakuku saat itu.
"Tumben kamu Gibran... Belum Ibu minta untuk mem-bereskan dagangan, tapi kamu sudah langsung membereskannya. Terburu-buru juga. Mau kemana kamu?"Tanya Ibu padaku yang sembari membereskan barang dagangan.
"Ohhh engga Bu... Cape saja Aku Bu. Hari ini panas banget soalnya."Menjawab pertanyaan Ibu dengan alasan lain.
"Ohiyaudahh..., pelan-pelan tapi ya. Hancur nanti barang dagangan Ibu tidak bisa di jual lagi besok."Jelas Ibu untuk sedikit menenangkan rasa terburu-buru ku.
"Baik Bu..."jawabku dengan singkat dan secepatnya membereskan barang dagangan.
Aku dan Ibu pun kembali pulang ke rumah dengan tumpangan yang diberikan oleh Paman Farhan seperti biasa. Dan sempat Aku meneteskan Air mataku yang sangat tidak berguna ini pada kala itu. Aku melihat Ibu yang sampai tertidur di mobil saat perjalanan pulang dengan bersandar kepalanya yang mulia itu di bahuku yang lemah ini.
Dan saat itu paman Farhan pun menyadari kalau Aku menangis. Lalu, paman Farhan pun bertanya padaku, mengapa Aku menangis secara tiba-tiba.
"Heii Gibran.. Kenapa kamu menangis?"Tanya paman Farhan sembari menyetir mobil.
Aku pun menjawab pertanyaan paman Farhan dengan sedikit kaget karena ternyata paman Farhan melihatku menenangin saat itu.
"Ohh..., Gapapa ko paman, debu, mataku jadi sakit."Dengan sedikit mengelak, karena sebenarnya Aku juga tidak ingin paman Farhan mengetahui hal tersebut.
"Sudah... Kamu tidak perlu bohong sama paman, paman juga ga akan bilang siapa-siapa. Cerita coba kamu kenapa?"Tutur paman Farhan dengan memasang wajah curiga terhadapku.
Aku pun tidak bisa mengelak ketika paman Farhan berkata seperti itu. Tapi memang sebenarnya Aku membutuh-kan seseorang untuk sedikit bercerita perihal apa yang Aku fikirkan. Karena paman Farhan pun seperti sudah melihatku dengan jelas yang menitih-kan sedikit air mata. Akhirnya, Aku pun bercerita sedikit kepada paman Farhan. Dan terfikirkan juga olehku untuk menanyakan tentang Jakarta padanya.
"Gibran mau tanya, boleh tidak paman?"Tanyaku kepada paman Farhan yang sedang fokus menyetir.
"Yaa jelas boleh dong. Mau tanya apa memangnya kamu?"Jawab paman Farhan yang sempat melihat ke arahku.
"Paman pernah menyusahkan Orang tua Paman dulu?." Tanyaku kepada paman Farhan dengan melihat ke arahnya juga.
"Ya pernah dong, semua anak pasti pernah menyusahkan orang tuanya secara sadar atau tidak sadar."Ungkap paman Farhan atas tanyaku.
"Kapan paman?, saat paman usia berapa?." Tanyaku lebih detil pada paman Farhan.
"yaa dulu..., Saat masih bayi. Hahahaha."Jawab paman Farhan dan dikuti dengan tawanya yang hampir membuat Ibu terbangun.
"suttttt.... Jangan berisik paman!. Nanti Ibu terbangun!"Pintaku pada paman yang suara tertawanya cukup keras.
"Aku serius pamaaaaann..."tanyaku kembali pada paman Farhan.
"Oalahh.. ternyata kamu menangin tentang Ibu-mu?, Hayooo jujur...!." Ungkap paman farhan yang membacaku.
Entah Aku tidak tahu ilmu apa yang digunakan oleh paman Farhan. Tapi yang jelas, ternyata candaan paman Farhan adalah untuk menggiringku secara tidak langsung karena sebab apa Aku menitihkan air mata kala itu.
"Engg.. Eng.. Engga paman. Mataku hanya sakit saja karena terkena debu, dan lalu Aku menggosoknya."Jawabku yang berusaha mengelak dari tebakan paman Farhan.
"Ilmu mengelak yang kamu pakai saat ini, itu sudah paman tinggalkan 5 tahun yang lalu. Jadi kamu tidak bisa berbohon dan mengelak dari paman Bran."Semakin yakin paman Farhan atas tebakannya.
"Iyaa paman iyaaaaa..., makanya jangan keras-keras paman, nanti Ibu terbangun!. Jawab paman pertanyaanku tadi!."Meminta kembali paman untuk menjawab pertanyaanku.
"Yakaaaann... Benar ternyata dugaan paman kamu menangis karena Ibu-mu, hahahaha."Tertawa lagi paman Farhan karena tebakannya benar.
Aku pun memukul dengan pelan dengan tujuan menegur kembali bahwa tertawa paman Farhan dapat membangunkan Ibu."Berisiiiikkk paman!!!"
Setelah Aku memberitahukan hal tersebut, paman Farhan pun menjawab pertanyaan yang telah Aku lontarkan sebelumnya.
"Paman pernah menyusahkan orang tua paman saat dulu paman baru lulus sekolah. sekitar se-umuran kamu sekarang lah tepatnya."Ungkap paman Farhan atas pertanyaanku yang kali itu jawabannya serius.
"Menyusahkannya gimana paman?"Tanyaku kembali karena merasa belum jelas atas jawaban paman Farhan.
"pada saat setelah paman lulus sekolah. Paman tidak melakukan apapun. Paman tidak bekerja, paman tidak membantu kedua orang tua paman. Pekerjaan paman hanya makan, main lalu tidur."Ungkap kembali paman Farhan.
"Teruss Orang tua paman marah pada paman?"
"Tidak..."Jawab paman Farhan.
Aku pun bingung atas jawaban dari orang tua paman Farhan mengapa tidak marah dengan tingkah laku paman Farhan saat se-usiaku dulu.
"Kenapa tidak marah paman?"
"karena orang tua paman percaya. Kalau paman saat itu sudah besar, sudah dewasa, paman tau apa yang harus di lakukan dan kapan waktunya."Jawab paman Farhan yang sembari sedikit-sedikit mengingat ceritanya.
"maksudnya itu gimana paman."
"Saat itu paman merasa dengan diamnya sikap kedua orang tua paman, itu tandanya mereka sayang pada paman. Tapi ternyata tidak, karena apabila orang tua sudah sampai memarahi anaknya, maka itulah tanda dan sekaligus menjadi bukti kasih sayang terhadap anaknya. Dan begitu pun sebaliknya. Apabila orang tua tidak memberitahuan atau memarahi anaknya saat melakukan kesalahan, maka sudah hilang rasa peduli sekaligus juga rasa sayang kepada anaknya."Ungkap paman Farhan dari apa yang telah ia rasakan.
Tidak terasa dan belum selesai pertanyaanku pada paman Farhan, Ternyata Mobil tumpangan yang diberikan oleh paman Farhan sudah sampai di depan Rumahku.
"Naaahhh... Kita sudah sampai. Cepat bangunkan Ibu-mu. Tapi pelan-pelan saja."tutur paman Farhan padaku.
"terimakasih banyak paman... Kami pulang duluan ya.."Ucapku untuk paman Farhan.
Saat ternyata sudah sampai, Aku pun sedikit merasa kesal. Aku merasa kesal karena belum selesai pertanyaanku kepada paman Farhan. Tapi Aku mengingat-kan pertanyaan yang Aku tanyakan saat di mobil sebelumnya, dan akan Aku tanyakan kembali besok saat di pasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
Non-FictionBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...