Setelah tidak terasa 3 tahun terlewati, Aku menjalankan pendidikan tingkat SMA/STM. Aku pun lulus pada tahun 1987, dan yang jelas Aku merasa sangat senang karena bisa sekolah sampai jenjang SMA. Namun, ada hal yang membuatku terasa sedih karena apa yang harus Aku lakukan selanjunya?. Dan sepertinya juga jawaban atas keinginanku untuk pergi ke Kota Pembuktian akan segera kuketahui pada saat itu.
Hal yang membuat diriku senang adalah Aku memperoleh nilai yang cukup baik di akhir masa sekolahku pada saat itu. Bahkan saat acara perpisahan pun namaku terpanggil menjadi 10 besar urutan ke-7 untuk siswa/siswi yang mendapatkan nilai tertinggi. Walaupun tidak menjadi nomor satu, tapi setidaknya Aku telah mengalahkan ratusan murid disekolahku pada saat itu.
Dan saat itu Ibu dan Ayahku juga datang untung menghadiri acara perpisahan sekolah walaupun Ibu harus meliburkan diri dari pasar untuk satu hari. Aku yakin Ibu sangat bangga mempunyai anak sepertiku walaupun, ungkapan itu tidak terucapkan langsung dari mulut Ibu. Tapi nampak jelas dari tatapan Ibu dengan kepalan tangan di dadanya saat mendengar dan melihatku menjadi salah satu dari 10 siswa/siswi dengan raihan nilai tertinggi di sekolah.
Hari itu pun usai, dengan jalan bersama-sama Ibu dan Ayah Aku pun kembali kerumah. Langkah demi langkah Aku tinggal-kan sekolah. Aku tidak tahu apakah itu waktu terakhir Aku melihat sekolah itu atau hanya untuk sementara waktu.
Malam hariku hampir persis seperti biasa. Dengan segelas teh hangat dan membaca beberapa surat kabar atau buku-buku lainnya. Dan yang membuatnya sedikit berbeda adalah saat itu Aku tidak tahu apa yang Aku lakukan sebenarnya. Karena Aku merasa, mataku tertuju pada buku yang sedang baca, bibirku mengucapkan kata demi kata yang terlihat oleh mataku. Namun, entah kemana fikiranku terbang.
Terbang mencari tempat tujuan raga ini akan bergerak. Disaat sudah menemukan tempat akan kemana tubuh ini berpindah tempat, timbulan pertanyaan baru. Dengan cara apa Aku agar bisa ke-tempat tersebut. Pertanyaan demi pertanyaan timbul memenuhi ruang kepalaku yang semakin padat. Sampai pada akhirnya Ibu menanyakan hal Aku sendiri lupa sebelumnya apa yang kulakukan.
"Gibraaaann..."Teriak Ibu dengan kencang dari dalam rumah.
"Iyaaa bu..., Ada apa?"Saut dan tanyaku atas teriakan Ibu memanggil namaku.
"Ko Celengan kamu ada di lantai?, beresin sana!, di ambil tuyul lohhh!"menepuk pundakku yang ternyata Ibu sudah berada di belakangku sembari tersenyum.
"Hah..?, Emang iya bu? Siapa yang mindahin ya Bu kira-kira?"menggaruk-garuk kepalaku karena kebingungan.
"Ko kamu malah tanya Ibu sih Gibran...kamu lupa tidak kalau sebelumnya kamu menaruhnya di lantai?"bertanya Ibu padaku.
"Hhmmmm..., kayanya iya Bu Gibran lupa, Iyaudah Bu Gibran pindahkan dulu ya Bu."Sembari berdiri Aku dan masih dengan keadaan heran dan bingung.
"Iyaudahh buruan sana, kemarin Ibu denger-denger soalnya tetangga Uang celengannya hilang, katanya si di ambil tuyul, ngerrrii isshh Ibu!"dengan nada seperti berbisik Ibu mengatakannya padaku.
"Isshhh Ibuu apaassiii...!!"Udah ah ngaco nih Ibu percaya sama yang kaya begitu musyrik Bu tau Bu!"tuturku
"Hahahahaha..."Tertawa ledekan Ibu padaku sembari masuk kembali kedalam rumah.
Ternyata saat Aku masuk kedalam kamarku benar adanya Aku melihat celengan Uangku berada di lantai. Aku pun berbicara sendiri dengan nada yang lirih.
"Ko bisa ada di bawah yaa?"ucapku dengan kebingungan.
"Tadi kan memang kamu yang telah mengambilnya dari dalam lemari kamu Gibran."Jawab Ayahku yang ternyata mendengar Aku berbicara sendiri dengan berdiri di depan pintu kamarku sembari lewat ke arah luar.
Saat Ayah berkata demikian, Aku pun berusaha mengingat hal yang telah Aku lakukan sebelumnya. Kurang lebih 5 menit Aku berbicara sendiri di dalam kamarku untuk berusaha mengingat, dan Aku pun berhasil. Aku mengingat hal apa yang telah Aku lakukan.
Aku mengambil celengan untuk melihat sudah berapakah Uang yang Aku telah tabung selama kurang lebih dalam jangka waktu 5 tahun belakangan. Karena Aku berfikir, jikalau uangku cukup untuk membeli tiket kapal laut, maka mungkin Aku bisa pergi merantau dan mengadu nasib di Ibu Kota. Dan Aku pun baru tersadar akan hal yang membuat fikiranku kabur entah kemana dengan keadaan mataku melihat buku, dan bibirku membaca tulisan di buku tersebut.
Dan saat itu Aku benar-benar merasa sadar bahwa, diriku sudah dewasa dan harus berfikir lebih maju untuk impian yang ingin Aku gapai. Sebuah impian yang entah itu sudah tertulis atau tidak di suratan takdirku saat Aku ber-usia 3 bulan dalam kandungan Ibu. Tapi tetap saja, jikalau memang tidak tertulis saat Aku ber-usia 3 bulan dalam kandungan Ibu, maka Akulah yang akan menuliskan takdir itu sendiri. Entahlaah, Bisa atau tidak Aku menuliskan hal tersebut. Hanya Doa, dan Usaha yang dapat menjawabnya.
Dan tentu saja, atas restu atau izin dari juga. Apakah Aku boleh menuliskannya?. Karena Ibu yang mempunyai tempat untuk Aku menuliskan hal tersebut. Semoga saja.~
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
Non-FictionBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...