Berbeda waktu, maka berbeda latar tempat dan giatnya, dan begitulah orang Aku dan teman- temanku saat kecil dulu. Apabila saat malam adalah waktu untuk bermesraan dengan teman-teman dibawah redupnya bulan yang berusaha untuk benderang. Maka apabila saat siang hari dibawah terik matahari yang membakar diri, kami pun mengerti hukum alam. Yaitu. Api dapat di padamkan oleh air.
Dan tentu saja saat siang atau sore hari, Aku dan beberapa teman-temanku biasanya kami merendamkan tubuh kami di Alami air yang jatuh dari pegunungan. Dingin yang menusuk layaknya jarum suntuk yang mengeluarkan sebuah energi. Bukan membuat sakit, tapi justru sebaliknya. Yaitu, membuat tubuh serasa semakin bugar walaupun seharian Aku lelah membantu ibu berdagang di pasar.
Tempat biasa kamj menambahkan kebugaran tubuh ialah bertempatkan di Lubuk Singgodang, Lubuk Uwok. Tempat yang sangat sempurna dan tidak kalah menyenangkan jika dibandingkan dengan tempat-tempat berendam di Ibu Kota.
Sebagai anak kampung, Aku memang sudah pandai dalam berenang dan tidak perlu diragukan lagi apabila sudah tercebur kedalam air. Saat tubuh sudah lompat memasuki sungai, seperti tiba-tiba Aku berubah menjadi seekor ikan, yang lihai berenang kesana kemari walaupun arus air cukup deras.
Salah satu hal yang sering Aku dapati saat bermain-main di sungai ialah, tersedaknya tenggorokanku karena tiba-tiba menelan air yang tidak sengaja masuk. Dan hal yang paling membuatku kesal namun tidak dapat Aku lupakan juga adalah, disaat Juno tenggelam dan tidak sadarkan diri walaupun Aku dan teman-teman sudah menekan dadanya.
Dan saat salah satu temanku ingin memberikan nafas buatan, tiba-tiba Juno terbangun dan ternyata Juno hanya berpura-pura untuk membuat kita panik. Saat itu aku sangat marah namun tidak lama. Karena Aku sangat panik apabila sampai terjadi hal yang tidak diinginkan kepada Juno.
Namun setelah Juno berhasil meredakan emosiku dan kembali bermain lagi, Aku merasa entah Aku lupa atau Bodoh. Bagaimana Juno bisa tenggelam dan Aku tidak walaupun air sungai mengalir cukup deras. Sedangkan, Junolah yang mengajariku bagaimana caranya berenang. Aku tersadar saat ketika Juno telah berhasil menghilangkan emosiku. Ingatanku tertutup karena Aku panik dan tidak bisa mengontrol amarahku karena ternyata Juno hanya berpura-pura tidak bisa berenang dan lalu tidak sadarkan diri. Memang selalu ada saja ulah temanku Juno.
Langit telah memberikan sinyal pergantian waktu, yaitu lewat petanda gradasi warnanya yang mulai berubah. Tapi itu petanda dari Langit untuk Bumi, dan sekaligus menjadi pergantian waktu kerja antara Sang Fajar dengan Sang Rembulan. Namun bukan pertanda waktu untukku berhenti bermain, mendiamkan gelak tawa, dan memperkencang langkah kaki menuju awal. Tapi alarm untukku adalah sebuah teriakan Ibu yang memanggilku sambil mengangkat salah satu terompahnya untuk siap di lepaskan ke arahku, apabila Aku sengaja tidak mendengar suaranya.
Dan itu tidaklah berlaku untukku saja, melainkan juga untuk Juno dan teman-temanku yang lainnya. Yaitu untuk mendengarkan apapun perintah Ibuku. Karena memang, perintah ibuku saat waktuku dan teman-teman usai bermain yaitu seperti surat izin dari Ibuku kepada teman-temanku untuk mengajak Aku bermain di esok hari. Walaupun begitu, Juno dengan teman-teman yang lain menuruti Ibuku tanpa ada paksaan dari siapapun termasuk dariku.
Itulah yang membuat Aku merasa bersyukur dan mengerti arti kata dari sebuah Rezeki. Ternyata Rezeki tidaklah hanya menggambarkan perihal materi saja. Melainkan teman-teman setia dan baik adalah rejeki yang harganya tidak dapat dibeli oleh apapun.
Dulu saat Aku masih kanak-kanak, aku sering berfikir dan membayangkan bahwa mempunyai teman banyak seperti sangat menyenangkan. Karena dimana pun kita berpijak, di manapun kita termenung, akan selalu ada orang-orang yang menemani kita dalam keadaan apapun. Tapi pada kenyataanya setelah Aku tumbuh besar, fikiranku menjadi dewasa, dan Aku telah banyak mengalami pahit manis kehidupan, barulah Aku sadar. Bahwa ternyata tidak perlu kita mempunyai ribuan teman atau bahkan disetiap tempat dimana kita berpijak. Cukuplah kita mempunyai teman walaupun hitungan jari saja, tapi tangan mereka selalu siap merangul bahu kita saat kita dalam keadaan terjatuh. Penuhnya kepala mereka tapi selalu siap untuk menerima tuangan runyam dari kepala kita. Dan langkah kakinya pun selalu mengikuti walaupun hanya sebatas angin.
Pada tahu 1981, tidak terasa warna serama sekolahku sudah berbeda. Teman-teman yang di hadapkan setiap hari pun sudah berbeda. Tapi tidak dengan tampilan Alam semesta yang selalu menertawakanku disetiap paginya. Menertawakan diriku atas penampilan kusam yang tetap sama seperti dulu.
Tidak ada kata lembaran baru, hanya tingkatan baru dan warna baru saja. Karena tidak ada kata lembaran baru dalam hidupku seperti orang-orang lain. Jika orang-orang lain mengalami pembaharuan lembaran dalam setiap bagian kehidupannya, namun itu tidaklah terjadi padaku. Jika di ibaratkan, orang-orang akan menggunakan lembaran baru, dan menyimpan masa lalunya disetiap lembaran demi lembaran. Tapi aku?, Aku tidak mengganti lembaran, melainkan Aku akan menghapus setiap tulisan di lembaran yang sudah pernah Aku tuliskan. Dan membuat lembaran itu semakin lama akan terlihat semain, lecak, kusam, berwarna namun hanya warna hitam dan putih yang lama kelamaan menjadi abu.
Tapi biarlah, itulah kenyataan hidup yang memang harus Aku terima. Tidak perduli seberapa jatuhnya hiduplu saat ini. Tapi Aku harus perduli kehidupanku selanjutnya. Saat ini itu Aku memang tidak mempunyai materi yang bahkan sangat jauh dari kata bergelimah, tapi sebisa mungkin Aku harus selalu merasa cukup dan selalu Bersyukur atas nikmat hidup dan nikmat sehat yang telah Aku dapat selama hidupku. Karena Tuhan pun berjanji, barang siapa yang bersyukur akan nikmat yang telah Aku berikan, maka akan kutambah nikmat tersebut. Dan hal itulah yang selalu Aku tanamkan dalam hidupku yang saat itu memang hanya kata Cukup yang pantas menyandang dan untuk menggambarkan kehidupanku.
Seorang yang terkenal, yang mungkin namanya tidak asing lagi di telinga semua orang-orang. Terlebih lagi dia adalah seorang yang mempunyai sebuah perusahaan besar yaitu Microsoft. Bill Gates namanya, dan dia pernah berkata, "disaat kita terlahir di keluarga miskin, maka itu bukan salah kita. Tapi disaat kita mati dalam keadaan miskin, itulah baru kesalahan kita". Kurang lebih begitulah perkataan yang pernah terlontar dari lidahnya dan sekaligus, membuat Aku berfikir sekaligus berkata. "yaa memang benar".
Karena jika kita fikirkan, apakah ada manusia di dunia ini yang bisa meminta kepada tuhan akan untuk dilahirkan di keluarga seperti apa. Seperti manusia yang meminta kepada tuhan saat di dalam kandungan ibunya, tentu saja tidak ada. Maka itulah maksud dari perkataan salah seorang terkemuka di dunia itu.
Dan Aku pun juga berprinsip demikian walaupun saat Aku kecil dulu belum terdengan nama Bill Gates, hanya baru-baru memasuki tahun 2000 ke atas saja. Dan saat sekarang Aku membacanya Aku sangat setuju sekali. Bukan bermaksud mendukung paham-paham kapitalis atau ingin menduduki posisi piramida borjuis, tapi itulah kenyataan kehidupan.
Apakah ada orang yang terlahir menjadi orang miskin jika boleh memilih?, sepertinya kita sudah mengetahui jawabannya. Yaitu 100% tidak akan ada dimanapun, Agama, Ras, Suku, Gender yang ingin terlahir sebagai orang miskin. Maka dari itulah mengapa kita harus berjuang untuk hidup kita, tanpa melupakan untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha ESA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
SachbücherBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...