Aku pun saat itu mengikuti ajakan Pak Ujang untuk makan. Walaupun, Aku sendiri tidak lapar pada saat itu. Bukannya tidak bersyukur, tapi memang Aku sudah terbiasa makan hanya satu kali ata dua kali sehari. Karena Ibu pernah memberitahuku tentang makan secukupnya saja. Dan Apabila kita makan terlalu banyak yang membuat perut terlalu begah, maka kita akan malas untuk bergerak.
Tapi karena saat itu Pak Ujang yang memang sudah seperti orang tuaku di Jakarta, maka Aku pun tidak mungkin bisa menolaknya. Walaupun Aku bisa menolak, kemungkinan itu akan menyinggung perasaan Pak Ujang terhadapku.
Saat makan, fikiranku pun terngiang tentang esok hari Aku sudah mulai bekerja. Yaitu bekerja di konvesi Pak Ujang yang memproduksi Tas itu."Aku harus bekerja semaksimal mungkin dan meminimalisirkan kesalahan."Ucapku dalam hati. Karena jangan sampai Aku mengecewakan Pak Ujang yang sudah memberiku pekerjaan dan sekaligus kepercayaannya itu padaku.
Karena, jika sampai Aku mengecewakan Pak Ujang di saat-saat awal bekerja, maka bukan hanya Pak Ujang yang kecewa. Melainkan, Ibu pun akan kecewa kepadaku dan merasa bersalah kepada Pak Ujang karena telah mengirimku ke rumahnya. Dan yang paling memalukan adalah, Aku akan di cemooh oleh diriku sendiri.
Sekitar kurang lebih 1 jam Aku dan Pak Ujang makan sekaligus berbincang-bincang santai, karena memang ada beberapa hal yang perlu Aku tanyakan padanya. Aku dan Pak Ujang pun kembali kerumah Pak Ujang yaitu dengan berjalan kaki kembali. Karena berjalan kaki kembali, terbesit dalam benakku tentang hal yang sebelumnya terjadi."Aduhhh, kalau jalan kaki lagi, kemungkinan saat sampai rumah Pak Ujang akan lapar dan mengajakku makan lagi. Ini saja perutku sudah sangat begah. Tapi semoga saja tidak, Hufttt."Spontan rasa cemasku karena perut yang sangat kenyang.
Tapi, di satu sisi pun Aku bersyukur dari apa yang sebelumnya Aku fikirkan sebelum merantau ke Jakarta. Aku berfikir apakah Aku bisa bertahan hidup dan terus melanjut-kan langkah kaki dengan hirupan dan hendusan nafas yang sehat. Melalukan semua hal sederhana itu tanpa asupan masakan Ibu yang masuk ke dalam perutku.
Namun pada kenyataannya, bukannya kekurangan atau bahkan sampai kelaparan, Aku malah kekenyangan sampai berjalan saja, tubuhku seperti menggendong 2 karung beras. Lagi-lagi fikiran negatifku teringat sebelum Aku menjalani hal tersebut. Menjalani suatu hal yang sebenarnya mungkin lebih baik dari apa yang Aku fikir-kan. Tapi, bukan berarti tidak terjadi hal buruk juga nantinya.
Mungkin saja ini adalah salam awal kota Jakarta kepadaku. Yaitu, orang desa yang masih baru dan belum mempunyai relasi luas di pundaknya. Tapi jangan sampai juga apabila ada hal buruk yang terlalu berlebihan menimpaku. Karena Aku takut tidak bisa menghadapinya. Ya walaupun, hal buruk atau cobaan yang pasti akan terjadi di kemudian hari, adalah suatu Guru yang paling penting dalam hidupku, untuk bisa lebih tangguh di hari-hari dalam hidupku selanjutnya.
* * *
Jujur saja, sebenarnya Aku ingin sekali benar-benar merasakan bertahan hidup yang sesungguhnya di Ibu kota ini, tanpa bantuan yang Aku dapat dari orang yang Aku kenal, termasuk keluargaku sendiri. Bukan karena Aku sombong atau tidak membutuh-kan bantuan orang-orang yang mengenalku. Akan tetapi, Aku ingin mengasah balok besiku sendiri sampai setajam pedang yang ada di dunia ini, tanpa bantuan alat pengasah orang lain."Akan tetapi mungkin memang jalan hidupku dan Allah adalah yang mempunyai sebaik-baiknya skenario kehidupan."Ucapku untuk menumbuh-kan rasa syukurku yang sedikit mulai tumbang.
Di sepanjang perjalan pun, Aku membuat motivasi untuk diriku sendiri, yaitu dengan cara yang walaupun memang kecil, namun sangat berharga bagiku. Dengan berbicara dengan Pak Ujang selama perjalanan kaki saat itu agar tidak terasa lelah juga kami berjalan jika sambil berbicang-bincang.
"Om..."
Menengok pun Pak Ujang dengan panggilan pembuka obrolanku dengannya,"yaa Gibran, kenapa?"
"saat mulai besok sampai seterusnya Gibran bekerja di tempat Om, Gibran di mendapat uang kan Om?"Tanyaku padanya.
Melihat matanya ke arahku dengan tatapan mata yang sedikit kebingungan,"Ya tentu jelas Om berikan uang, itu suatu bentuk kamu sudah mengeluarkan tenaga dan keringat-mu untuk membantu Om berusaha."
"tapi mengapa kamu bertanya seperti itu, kamu berfikir Om mempekerjakan kamu tanpa diberikan Uang ya?"Tanya kembali Pak Ujang atas kebingungannya.
"Bukan Om, masa iya Aku berfikir seburuk itu pada Om..."Jawabku untuk menghapus fikiran buruknya padaku.
"terus karena apa."Tanyanya dengan mata minim yang membuat jidatnya berkerut.
"Jadi gini Om, Aku mau saat nanti Aku dapat Uang dari hasil kerjaku, Aku ingin mentraktir Om, hehehe. Hitung-hitung sebagai tanda terimakasih dariku untuk Om."Ucapku dengan sangat malu padanya dan sedikit tawa.
"Wuiih... gaya kamu..., hahaha..."sembari merangkulku dan mengoyang- goyangkan tubuhku.
"Aku serius Om, habis Om sudah baik banget padaku."tuturku.
"Baik gimana maksud kamu?"
"Yaa dari Om memberiku tempat tinggal dengan kamar tidur yang nyaman. Makan dan fasilitas lainnya. Aku bingung balas kebaikan Om dengan apa. Sedangkan Aku saja tidak punya apa-apa."Jelasku pada Pak Ujang.
Pak Ujang pun menempeleng pelan kepalaku."Alaah..., Kamu itu ngomong apa. Kamu pun juga Om anggap seperti anak Om sendiri. Apalagi anak Om kan di kampung. Om justru yang terimakasih kamu dan Ibu-mu yang telah mengirim kamu kesini untuk menemani Om."
Mendengar sedikit penjelasan singkat Pak Ujang, Aku semakin berfikir kembali tentang mengapa Ibu secara tidak langsung memberikan alamat rumah Pak Ujang. Mungkin karena Ibu pun tahu tentang tragedi yang menimpa Istri Pak Ujang.
"Jadi Aku tidak membebani Om nih ya brarti?"tanyaku pada Pak Ujang.
"Ya jelas tidak dong."
"brarti, Pak Ujang mau ya nanti Aku traktir makan. Tapi... jangan yang mahal-mahal ya Om, heheheh."Pintaku dengan sedikit candaan dengannya.
"Iyaa... iyaa, Om mau..., yang penting, kamu bekerjanya benar, sungguh-sungguh. Kalau tidak benar Om tidak akan berikan kamu Uang, hahahah."Tertawa sampai terbahak-bahak Pak Ujang yang sembari berjalan santai denganku.
"Siaaaappp Pak bos..."Dengan tangan hormatku ke arahnya.
"Alaaahhh kamu, hahahaha."Tertawa Pak Ujang sembari merangkulku dengan erat yang di dekap-kan ke tubuhnya.
Aku pun terus berjalan dengan Pak Ujang yang memang sudah ku anggap sebagai orang tuaku sendiri. Terlebih lagi, Pak Ujang pun sangat dengan dulu dengan Ibu, jadi tidak perlu lagi ada rasa khawati dalam fikiranku terhadapnya.
Dengan iringan tawa yang muncul di setiap obrolan berjalan, Aku pun merasa sangat senang karena bisa melihat Pak Ujang yang tertawa dengan lepas, setelah kemarin habis ku buatnya menangis karena kenangan lama yang terbahasakan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
Non-FictionBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...