Hari itupun pun usai dan kami-pun di perboleh-kan untuk pulang dengan sebuah tanda Bel sekolah. Semua murid pun merapih-kan seluruh perlengkapan belajarnya dan tidak juga yang menjalan-kan tugas piket untuk membersihkan kelas. Suasana sekolah menjadi sepi seketika dan seperti terdengan suara dari setiap sudut lorong yang mengatakan,"Kembali-lah esok hari dengan senyuman, dan pulang dengan senyuman yang lebih bahagia."
Aku dan beberapa temanku yaitu salah satunya Arif pun saling tunggu-menunggu di depan gerbang sekolah. Saling tunggu menunggu dengan tujuan kami akan bermain terlebih dahulu. Kemana kami pergi?, ke hutan?, Ke lembah?, Danau?, Air Terjun?, Sungai?, entahlah. Tidak ada yang mengetahui kami ingin kemana. Tapi cukup ikuti bunyi suara senyuman dan indahnya gambaran sebuah tawa. Maka itu pasti akan membawa kami kepada suatu hal yang indah, menyenangkan, dan tidak akan terlupakan sampai kapan pun.
Kurang lebih 5 menit kami saling tunggu menunggu di depan gerbang, Aku pun bersama beberapa temanku berjalan mengikuti kemana kaki ini ingin menunjuk-kan langkahnya yang berujungkan pada keindahan mata memandang.
"Karena jangan pernah tanyakan kemana kaki ingin melangkah, karena kaki tidak mempunyai telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan mulut untuk menjawab. Tapi, tanyakan pada diri-mu, apakah kamu ingin bahagia atau tidak?. Jika ingin, maka Kaki-mu, Mata-mu, Teling-mu, akan melakukan tugasnya masing-masing dengan sendirinya."
Saat itu hari terasa sangat bersahabat tanpa ada kontradiksi sedikit pun pada apa yang Aku jalani. Hal itu membuat kakiku menggoes sepeda bersama teman-temanku untuk mengelilingi danau singkarak. Cukup jauh jarak yang harus di tempuh untuk ke danau singkarak apabila berjalan dari sekolahku. Jarak yang harus Aku dan beberapa temanku tempuh sekitar 7 kilometer, atau sekitar satu jam bersepeda.
Aku dan beberapa temanku mengetahui dengan sadar bahwa itu sangat melelahkan. Namun, lelah itu akan terbayarkan saat sesudah sampai disana. Angin yang meniup-niupkan rambut dengan tenang. Suara radio yang di putar penjaga warung kopi saat senja kian datang. Membuat siapapun yang kesana tidak ingin pulang dan merasa ingin menginap saja.
Bercengkrama, berenang dan mencari beberapa ikan untuk kami bakar yaitu untuk kami santap dengan nuansa matahari terbenam di ufuk barat. kenangan demi kenangan kami buat di danau tersebut dan terlalu banyak kenangan indah untuk di tulisan. Bahkan, Apabila tinta pena itu adalah sebanyak buih air di danau tersebut. Maka, tidaklah akan cukup untuk menuliskan kenangan kami yang sangat begitu indah.
Pernah terlintas dalam fikiranku karena mendengar beberapa orang di kampungku saat itu berbicara soal kota Jakarta. Kota metropolitas, tempat mengadu nasib para perantau berada. Tapi ada satu fikiran yang benar-benar menjadi fokusku tentang kota Jakarta. Dan sesuai kepada usiaku dan yang Aku rasakan saat itu.
Apa yang dilakukan para murid di kota Jakarta sesuai mereka pulang sekolah?. Apakah main ke danau sampai seperti kami?. Mereka pasti ingin karena jelas sangat menyenangkan. Tapi mereka tidak bisa merasakan hal itu karena memang Jakarta telah menjadi kota metropolitan, Entahlah.
Tapi yang pasti, betapa bersukurnya Aku dan tanpa sedikit ada rasa mengeluh karena telah di lahirkan menjadi anak kampung.
Apa yang membedakan anak Kota dengan anak pedesaan atau lebih akrab di sapa dengan anak kampung?. Perbedaan bagiku ialah, anak kota lebih merasakan perkembangan zaman yang lebih dulu jika di bandingkan anak di pedesaan. Walaupun seseorang anak di pedesaan itu juga memiliki perekonomian yang cukup baik. Namun tetap saja, anak kota yang akan tetap lebih dulu merasakan hal tersebut.
Walaupun Aku tidak menyesal atau mengeluh karena telah di lahirkan menjadi anak kampung, namun tetap ada keinginanku untuk menginjak-kan kakiku di Ibu kota DKI Jakarta. Yang tentu saja tujuanku adalah seperti apa yang di katakan orang-orang kampung. Ibu kota DKI Jakarta adalah tempat mengubah dan mengadu nasib terutama bagi para anak perantauan. Seperti apa yang telah Aku cita-citakan. Yaitu, untuk mengubah atau setidaknya menaikan derajat keluarga. Dan menjadi pengusaha sukses suatu hari nanti.
Karena hal itulah Aku ingin membantu Ibuku berdagang, selain untuk meringankan tenaga dan beban yang di kerahkan olehnya.
Hampir setiap malam sebelum tidurku. Aku selalu membaca surat kabar yang telah di baca oleh Ibuku. Surat kabar yang di sebarkan oleh seorang tukang koran keliling di pagi yang masih buta. Sebuah kertas yang selalu Aku baca untuk melihat sedikit atau setidaknya tentang persoalan di Jakarta.
Dan Aku selalu berfikir dan banyak pertanyaan yang muncul juga di kepalaku. Pertanyaan yang di hasilkan dari campuran keinginan atas impianku dan apa yang Aku alami saat itu. Apakah Aku akan bisa pergi ke Jakarta untuk ikut berlomba dengan nama perlombaan"mengadu nasib?", Apakah Aku bisa bertahan dari hukum rimba dan menjadikanku seorang penguasa atau pedagang sukses nantinya seperti apa yang Aku ingin-kan.
Saat itu Aku berfikir tidak bisa, karena memang Aku hanyalah seorang anak dari pedagang kecil-kecilan dan seorang anak dari tukang kebun. Karena, jangkan menjadi pedagang sukses yang membutuhkan modal yang cukup besar, ongkos untuk pergi ke jakarta pun Aku tidak tahu mampu atau tidak.
"Biarlah Ragaku ini berjalan seperti air sungai yang mengalir dengan tenang dan pada akhirnya tetap sampai tujuan. Namun mempunyai daya tahan seperti ombak di lautan yang bisa menghancurkan karang yang sangat amat keras yang menghadang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
Non-FictionBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...