Dalam perjalanan pun Aku berbicancang dengan sedikit bumbu obrolan yang menghasil-kan gelak tawa. Itulah yang Aku maksudkan sebelumnya, Aku merasa nyaman dengan Pak Zain walaupun hanya baru beberapa saat saja bertemu dan berbicara. Pak Zain menanyakan hal yang belum sempat Aku jawab karena memang waktu yang sudah menunjukan pukul 2 lewat siang.
Pak Zain bertanya tentang mengapa Aku berani merantau ke Jakarta dengan modal yang mungkin hanya cukup untuk makan beberapa hari saja.
"Ohiyaa.... Pertanyaan bapak belum kamu jawab."Tanya Pak Zain padaku yang sedang memperhatikan jalan kota Jakarta.
"Pertanyaan yang mana ya Pak, hehehehe. Maaf pak, Saya lupa."Dengan sembari menggaruk-garukan kepalaku karena kebingungan.
"Ituloh.... Soal kenapa ko kamu seberani itu merantau ke Jakarta dengan bermodalkan uang yang jauh dari kata cukup."Mengingatkan kembali Pak Zain atas pertanyaannya.
"Oalah.... tentang itu ya pak. Saya ingin merubah nasib keluarga saya pak. Saya orang miskin dari desa. Saya pun bermodalkan uang yang saya tabung sendiri selama kurang lebih 5 tahun pak. Dan yang pastinya, usaha dan do'a dari Ibu saya pak."Jawabku.
"Salut bapak dengan anak muda seperti kamu."Ungkap pak Zain.
"Salut kenapa ya pak?"dengan rendah hati pun Aku bertanya kembali.
"Iyaa bapak salut pada-mu. Kamu sadar dengan keadaan per-ekonomian keluarga-mu dan berani mencoba merantau dan berjuang di Ibu kota ini walaupun hanya dengan modal uang yang sangat sedikit."
"Awalnya saya juga takut pak hehehe. Tapi karena saya berfikir lebih jauh kembali tentang cita-cita saya menjadi pengusaha sukses dan membuka mata orang-orang di desa saya tentang keluarga saya yang miskin."Sembari tersenyum malu Aku menanggapi pembicaraan Pak Zain.
"Ya memang sudah seharusnya anak muda punya semangat dan pemikiran seperti kamu ini."Ungkap pak Zain sembari melihat ke arah jalan yang sedang menyetir.
"Iya pak, yang penting kan berusaha dan mempunyai niat baik dan mulia. Terutama untuk keluarga, hehehehe."Tuturku pada pak Zain.
Saat itu pun Aku menyadari tatapan serius dari pak Zain yang entah apa arti dari tatapan itu walaupun mataku meng-arah ke arah jalan. Aku pun berpura-pura meng-ingatkan Pak Zain untuk memperhatikan arah laju mobilnya. Yaitu, dengan tujuan agar Pak Zain tidak menatapku lagi yang membuatku pernasaran apa arti dalam tatapan itu. Tapi yang pasti, tatapan itu berisi makna yang positif terhadapku.
"Pak, perhatikan ke jalan pak, bahaya pak nanti kalau tidak memperhatikan arah jalan."Tuturku dengan sedikit mengejutkan.
"Ohiyaaa... Astaghfirullah!!!." Sembari membasuh wajah yang sedang menyetir dengan sebelah tangannya.
Setelah itu Pak Zain pun menjadi sangat fokus menyetir mobil dan tidak berbicara padaku. Dan Aku pun seperti selayaknya orang desa yang baru merantau ke Ibu Kota. Melihat ke arah Gedung-gedung tinggi yang walaupun memang tidak sebanyak saat ini.
Lalu terucapkan dalam hati dan fikiranku. ucapan yang sedikit sombong namun menjadi sebuah motivasi untukku bertahan hidup di tanah yang kejam seperti kota Jakarta.
"Kau memang sangatlah keras wahai Jakarta. Yaitu, bagaikan karang yang ada di lautan. Tapi Aku akan menjadi seperti ombak yang selalu menerjang-mu dengan kuat sampai kau Aku takhlukan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
Non-FictionBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...