Aku sudah dirumah dan Aku teringat dari apa yang Aku lihat sebelumnya di pasar. Suatu kejadian yang membuat benar-benar Aku sadar dan membulat-kan tekadku. Karena kejadian itu seolah-olah di perankan oleh dua Malaikat yang di turunkan oleh Tuhan untuk menyadarkanku. Dan Aku pun teringat apa yang akan Aku lakukan saat sesampainya Aku dirumah.
Aku pun langsung bergegas untuk membuka lemariku. Yaitu sebuah tempat yang di dalamnya Aku menyimpan dan menabungkan Uangku untuk keperluanku yang entah Aku belum tahu. Tapi Ibu selalu mengajarkanku dengan ucapannya.
"Sebagai manusia biasa, kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi atau apakah itu sesuai dengan rencana atau malahan terjadi hal yang tidak kita inginkan. Yaa walaupun, hal itu yang telah kita rangkai dengan sangat rapih. Tapi tidak ada salahnya bila kita mempersiapkan dengan cara apa kita menghadapi kejadian yang tidak kita inginkan itu."
Maka dari itu Aku berusaha menabung sebisa dan semampuku. Walaupun memang uang yang Aku dapat-kan dari membantu Ibu dagang tidaklah seberapa.
Aku pun langsung mengambil celenganku dan membongkarnya, untuk melihat berapa uang yang telah Aku telah kumpul-kan. Uang yang Aku harapkan cukup untuk menjadi bekalku merantau ke Ibu kota.
"Prangggg!!!"suara celenganku yang Aku banting agar pecah.
Aku senang saat melihat Uang yang telah Aku tabung selama kurang lebih 5 tahun itu berhamburan. Karena saat Aku pecah-kan celenganku tersebut, melebihi dari apa yang Aku bayangkan.
"Wihhhhh Banyaaakk bangettt Uang Aku!"perasaan senang yang di wakil-kan oleh mulutku.
Aku pun langsung menghitung sendiri Uang tersebut untuk mengtahui dengan pasti jumlahnya. Dan tidak lama setelah Aku memecah-kan celengan tabunganku, Ibu pun datang dan bertanya padaku.
"Gibran..?, kenapa ko celengannya kamu pecah-kan?, Kamu mau beli sesuatu ya sampai membongkar Uang tabungan-mu."Bertanya Ibu dengan wajah yang keheranan ke arahku yang sedang menghitung Uang.
Saat itu Aku pun gugup dan terdiam sejenak. Aku lupa untuk mengunci pintu kamarku. Bahkan Aku pun tidak sadar bahwa ternyata Ibu telah ada di depanku.
"Tii.. Tii.. Tidak Bu!, Girab hanya ingin mengetahui saja. Berapa jumlah Uang gibran yang telah Gibran tabung selama kurang lebih 5 tahun."Menjawab pertanyaan Ibu dengan Gugup.
Ibu pun lalu mendekatiku lalu duduk di lantai dan tepat disebelahku.
"Jujur Gibran sama Ibu, Kamu gabisa boong dari Ibu, Ibu yang telah melahir-kan dan mengurus kamu sejak kecil. Jadi Ibu tahu jelas, kapan kamu jujur, dan kapan kamu berbohong."Dengan rasa yakin Ibu bertanya padaku.
"Ii... Ii.. Iyaaa Bu Gibran mau membeli sesuatu."Semakin gugup Aku karena tidak tahu apa yang harus Aku lakukan saat itu.
"Iyaa Ibu tahu pasti ada yang ingin kamu beli, Tapi apaa yang kamu ingin beli itu?, Sepertinya mahal sekali sampai kamu memecah-kan celengan kamu yang sudah 5 tahun kamu isi."Semakin mengusap-usapkan tangan lembut dan hangatnya di kepalaku yang sedang memutar otak untuk menghindari pertanyaan Ibu.
Tapi pada saat itu fikiranku tidak bisa berfikir jernih. Seolah fikiranku pun takut untuk berbohong kepada Ibu yang telah menjaganya selama belasan tahun. Dan belaian tangan kenyamanan Ibu pun membuat perasaanku tidak bisa berbohong.
Saat itu Aku tidak mengetahui jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan Ibu padaku. Pertanyaan Ibu hanya satu tapi tingkat kesulitannya melebihi menjawab soal Ujian Nasional.
Setelah beberapa menit Aku terdiam dan tanpa sadar Aku terpaku karena pertanyaan Ibu. Ibu pun kembali menanyakan hal tersebut untuk kesekian kalinya.
"Gibraaaann!. Ibu sedang bertanya pada-mu, kenapa kamu malah diam."Dengan sembari Ibu menepuk pundakku yang sedang di rangkul oleh tangannya.
Aku pun sontak terkaget, dan tanpa sadar Aku menjawab pertanyaan Ibu.
"Aku ingin beli tiket kapal laut untuk pergi ke Jakarta bu!"dengan sangat cepat bicaraku karena Ibu baru saja mengagetkanku.
Saat mendengar ucapanku pun Ibu sangat kaget dan Ibu yang menjadi terdiam. Tidak di ragukan lagi Ibu telah mendengar jawabanku atas pertanyaannya dengan sangat jelas. Dan saat itu Aku juga terdiam dengan kepalaku yang hanya bisa terdunduk, dan dengan Uang tabunganku yang belum terselesaikan hitungannya olehku.
Setelah beberapa saat Ibu terdiam, Ibu pun mulai mengeluar-kan Air mata dari kedua bola matanya. Air mata yang juga membuat Aku menangis tetapi membuatku semakin terdiam. Semakin banyak tetesan yang keluar dari kedua bola mata Ibu, semakin basah pipinya yang telah mulai keriput, semakin saraf otot tubuhku pun merasa tidak bisa di gerak-kan.
Aku tidak mengetahui Apa yang telah membuat Ibu sampai menitih-kan Air matanya yang suci itu. Apakah Ibu sedih karena Aku ingin pergi merantau ke Jakarta?, ataukan Ibu menitih-kan Air mata bahagia?. Aku tidak tahu pasti karena alasan apa air mata itu jatuh. Tapi yang Aku yakin adalah, Itu tahu betul dengan alasan apa Aku ingin pergi merantau ke Jakarta. Entahlah, Semoga Ibu selalu merestui setiap langkahku. Dan memang hanya itulah harapanku.
Malam itu benar-benar menjadi malam yang mempunyai keputusan dan harapan yang sangat besar. Karena di saat pecahan celenganku, di saat itu-lah rasanya Aku harus benar-benar merubah hidupku dan keluargaku. Tapi ternyata apa yang Aku fikir-kan ternyata tidak semudah membalik-kan telapan tangan. Tetapi, kau bagaikan menggenggam bumi dengan seluruh tangan-mu.
Saat Ibu telah usai dari diamnya, dan berhenti pula titihan air matanya. Ibu pun mulai berbicara padaku dengan nada bicara yang tersedu sedu.
"Gibraan?"
"Iya Bu ada apa?"jawabku dengan kepala tertunduk karena Aku tidak mampu untuk melihat Ibu menangis seperti tadi.
"Apakah kamu benar-benar sudah yakin ingin pergi ke Jakarta?"dengan nafas yang ter engah-engah.
Dengan mulai memegang kedua tanga Ibuku. Aku pun menjawab pertenyaannya.
"Kalau Ibu merestuiku, Insya Allah Gibran siap bu. Karena, memang hanya itu yang gibran butuh-kan."
"Kalau memang tekad kamu sudah bulat untuk merantau ke Jakarta, Maka izinkan Ibu membantu kamu untuk merapih-kan pakaian-mu ya nak."Sembari tersenyum Ibu menjawab dan memenuhi permintaanku.
Aku pun tidak bisa berkata banyak saat itu. Namun, Hanya ada satu kalimat yang Aku ucap-kan di dalam hatiku.
"Jakarta!!!, Tunggu Aku untuk menghadapi-mu!"
Aku pun mengambil-kan tasku kepada Ibu untuk membantu merapih-kan pakaianku. Dan Aku pun kembali untuk menghitung uang tabunganku yang sudah berhamburan di lantai kamarku saat itu. Dengan perasaan yang sangat senang karena bekal yang benar-benar bermanfaat dan sangat Aku butuh-kan telah Aku peroleh. Bekal yang siapapun tidak akan bisa untuk menghentikan langkah kakiku nantinya. Karena bekal itu adalah, Doa dan restu dari Ibuku. Karena, bekal itu berasal dari seseorang yang membawa Syurgaku.
Sebagai manusia memang tentunya sangat kita tidak bisa melihat tuhan, bertemu secara langsung untuk meminta restu pada-Nya. Karena hanya Dia-lah yang memiliki kehidupan ini. Dia-lah yang maha mengetahui apa yang akan terjadi pada hidup kita. Tapi, Restu Orang tua atau restu Ibu adalah restu Allah.
Apabila seorang Ibu telah memberikan restunya kepada anak makan, niscaya dengan pertolongan Allah juga yang senantiasa menjagaku karena Doa Ibu. Karena hal itu-lah yang benar-benar membuat Aku semakin yakin dan berani untuk melangkah-kan kakiku lebih jauh lagi dari tanah kelahiranku.
Melangkah lebih jauh untuk mengejar impianku dan impian kedua Orang tuaku. Yang pastinya, kedua orang tua ingin melihat anaknya menjadi orang sukses suatu saat nanti. Di tambah lagi derajat keluargaku juga rendah di mata orang-orang di kampungku. Dan Aku benar-benar harus membuka mata mereka dengan lebar untuk melihatku kelas Aku sudah menjadi sukses.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat si Perantau
Non-FictionBerkisahkan seorang pemuda desa yang bertanya-bertanya tentang apa itu arti dari menjalani kehidupan. Seorang pemuda yang sedari dulu memiliki kehidupan dari keluarga yang sederhana dan keluarga yang selalu diremeh-temehkan. Karena hal tersebut, ter...