"Kakak ih, aku mau ikut organisasi Mapala titik!"
"No, Lisa! Sekali kakak bilang tidak artinya tidak!" putus Kim Bum sambil mengitari meja makan untuk mencium pipi adik bungsunya-Lea-yang sejak tadi menyaksikan perdebatannya si anak tengah-Lisa.
"Kakak berangkat duluan ya, nanti di sekolah hati-hati, jangan keluyuran sebelum paman Han menjemputmu ke sekolah," nasihat Kim Bum pada Lea.
"Iya, Kak," jawab Lea patuh, saat ini ia masih duduk di bangku kelas VII SMP.
Kim Bum mengelus puncak kepala adik bungsunya lalu beranjak begitu saja tanpa memedulikan Lisa yang masih memberengut kesal, karena permintaannya tak kunjung disetujui sang kakak.
"Kakak aku belum selesai bicara!" teriak Lisa namun Kim Bum tak menggubris sama sekali, pria 33 tahun itu tetap berjalan menjauhi ruang makan.
Lisa mendengus kesal, ia duduk di kursi samping si bungsu kemudian melipat kedua tangannya di atas perut.
"Kak Kim Bum makin hari makin nyebelin banget, sih!" gerutu Lisa.
"Sabar Kak Lis, Kakak kan tahu kak Kim Bum tidak suka kalau kakak keluyuran di luar terlalu lama."
"Aku enggak keluyuran Lea! Aku ikut organisasi mahasiswa pecinta alam, apa itu salah? aku udah gede kali, udah 20 tahun! Tapi kak Kim Bum masih aja memperlakukan aku kayak bocah SD. kalau kamu yang dikekang wajar, nah aku? Aku kira udah jadi mahasiswa bakal bisa lepas dari segala aturan kolot kak Kim Bum. Eh, tahunya sama aja. Nyebelin!"
Lea hanya geleng-geleng kepala melihat kakak perempuannya yang sangat emosional. Lisa memang seperti itu, mudah meledak dan hobi menggerutu kalau keinginannya tidak terpenuhi. Wataknya juga agak keras, susah diatur, dan selalu menentang aturan yang ditetapkan Kim Bum. Menurut Lisa, semua batasan yang diterapkan kakaknya terlalu mencekik dan merenggut kebebasan Lisa dalam bergaul dan beraktivitas.
Saat teman-teman seusianya sudah tidak memiliki jam malam dan bebas melakukan segala hal yang mereka suka, tapi Lisa tidak demikian. Setiap hari dia masih harus waswas mendapat amukan Kim Bum jika jam malamnya dilanggar. Tepat pukul 21.00 Lisa harus sudah berada di rumah. Kim Bum mengetahui jadwal kuliah Lisa sampai ke aktivitas di luar itu pun Kim Bum mengetahuinya. Tak ada celah untuk Lisa mengelabui kakaknya, ke mana, di mana, dan dengan siapa Lisa bergaul, sudah pasti terpantau sang kakak tercinta.
"Den Kim Bum itu sayang sama non Lisa, makanya dia begitu protektif. Den Kim Bum tidak ingin non Lisa kenapa-kenapa di luar sana," ujar bi Yura yang datang untuk membereskan piring bekas sarapan Kim Bum.
"Itu bukan protektif Bi tapi udah masuk ranah posesif. Aku dikekang banget hidup sama kak Kim Bum, tuh. Coba Bibi bayangin, kakak mana yang melarang adiknya bersosialisasi dengan bebas? Cuma kak Kim Bum doang yang kayak gitu! Aku tuh masih muda, masih ingin mengeksplorasi berbagai hal di luar sana. Ini masa emas yang seharusnya bisa aku nikmati dengan indah, semuanya kacau gara-gara kak Kim Bum!"
"Bibi paham sama kekecewaan non Lisa, tapi tolong jangan berkata seperti itu. Den Kim Bum pasti sakit hati kalau mendengarnya. Maaf Non, bukannya Bibi lancang menasihati non Lisa, hanya saja Bibi juga sangat paham posisi den Kim Bum saat ini. Di usia muda dia harus menjadi tulang punggung keluarga sekaligus menjadi wali non Lisa dan non Lea. Sejak kepergian nyonya dan tuan, den Kim Bum memang terlihat mendedikasikan kehidupannya untuk kalian. Dia ingin adik-adiknya tumbuh dengan baik tanpa kekurangan satu apa pun. Bibi harap non Lisa mau mengerti."
Bibi Yura bukan orang asing di keluarga itu, dia sudah menemani keluarga Kim Bum puluhan tahun. Tepatnya, sejak Kim Bum masih dalam kandungan mendiang ibunya, bibi Yura sudah mengabdi di keluarga itu. Bahkan ketika kedua majikannya sudah tak ada, bibi Yura tetap setia menjaga putra-putri mereka hingga saat ini. bibi Yura juga merupakan pengasuh Kim Bum dulu, jadi dia tahu betul seperti apa sifat, watak, dan kebiasaan tuan mudanya itu. Termasuk berbagai perubahan yang dialami pria itu usai kematian kedua orang tuanya.