3"Jadi bagaimana ceritanya kamu bisa kena tipu muslihat orang-orang itu?" ujar Kim Bum yang saat ini sedang berdua dengan So Eun di balkon lantai dua.
Setelah makan siang bersama, mereka memutuskan untuk menetap lebih lama di kediaman itu. Tentu idenya berasal dari Karel dan Leon yang seperti belum puas karena misi utamanya belum berjalan maksimal. San kebersamaan dua orang yang paling jadi korban sekarang ini adalah target yang sejak awal ingin dicapai Karel dan kawan-kawan.
"Aku juga heran kenapa aku masih saja lengah dan bisa dikelabui dengan mudah. Sebenarnya dua hari lalu, Rose memang sempat meminta pendapatku untuk meminta bantuan pada Kakak terkait masalah tugas ini. Tapi aku tidak langsung mengiyakan karena banyak hal yang harus dipertimbangkan. Sampai akhirnya tadi pagi, Rose mengatakan bahwa kak Karel dan Leon bisa membantu tugas kami. Rose bilang, kami akan datang ke rumah kak Karel. Tadi begitu sampai sini, kak Karel juga bersikap seolah-olah ini rumah dia. Begitulah singkatnya kenapa aku bisa ada di sini."
"Mm, iya aku paham. Jadi kamu lebih percaya Karel dibanding aku?"
"Eh, kenapa kakak menyimpulkan begitu?"
"Kamu butuh pertimbangan panjang saat Rose menawarkan bantuanku. Tapi begitu Karel orangnya, kamu langsung setuju. Bukankah itu berarti kamu lebih percaya dia daripada aku?"
So Eun tidak menyangka Kim Bum akan berpikir seperti itu. Padahal alasan sebenarnya enggan merepotkan Kim Bum adalah karena dia khawatir akan banyak hilang fokus jika berdekatan dengan pria itu. Dia juga tidak ingin Kim Bum berpikir macam-macam dan menganggapnya memanfaatkan keakraban mereka demi mendulang nilai tinggi dalam mata kuliah.
"Aku sama sekali tidak berpikir seperti itu, Kak. Jujur aku hanya takut merepotkan Kakak."
"Kamu tidak takut merepotkan Karel dan Leon? Kenapa batasan untukku lebih tinggi daripada mereka?"
So Eun diam sejenak, sedang memilih kata yang tepat agar penjelasannya tidak menyinggung atau menimbulkan penafsiran keliru.
"Kak Karel dan Leon terbiasa direpotkan oleh Rose dan Liana. Mereka menjalin hubungan cukup lama, jadi aku terbiasa melihat mereka terlibat dalam keseharian teman-temanku. Kalau untuk Kakak, karena aku tahu Kakak tidak sesenggang itu makanya perlu pertimbangan serius supaya permintaan kami tidak memberatkan Kakak."
"Aku juga tidak keberatan direpotkan olehmu. Lain kali kalau perlu bantuanku jangan sungkan, ya. Bilang saja."
So Eun mengangguk sambil tersenyum, dia lega karena Kim Bum tidak memperpanjang pertanyaan yang entah mengapa kesannya seperti proses interogasi. Meskipun pria itu menanyakannya dengan nada santai dan biasa tetap saja So Eun waswas. Takut salah bicara.
"Apa kamu masih tidak nyaman di sisiku, So Eun?" tanya Kim Bum tiba-tiba setelah percakapan mereka terhenti tadi sehingga tercipta momen sunyi yang cukup mengusik.
"Hm?"
"Kamu terlihat tidak rileks saat ini. Sepertinya karena kamu tidak nyaman denganku, ya?"
"Enggak, Kak, aku cuma bingung aja."
"Bingung kenapa?"
"Bingunga mau ngomong apa. Interaksi langsung ternyata berbeda dengan insteraksi kita saat chating. Aku hanya belum terbiasa."
"Mm ... itu artinya kita harus sering bertemu dan mengobrol secara langsung supaya kamu terbiasa."
So Eun menggangguk dan tersenyum lepas kali ini. Kim Bum tampak begitu sabar menghadapinya yang memang cenderung begitu tertutup. Sulit bagi So Eun membuka diri pada laki-laki. Mungkin karena kebiasaannya yang selama ini selalu melakukan apa-apa sendiri dan belum pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun.