"Ini kakak serius minta maaf?" tanya Lisa saat keesokan harinya Kim Bum mengajak bicara."Iya."
Saat ini mereka ada di ruang kerja Kim Bum di rumahnya. Lisa masih sulit percaya pada situasi ini. Tadi sepulang kerja, tumben-tumbenan Kim Bum menyapa dan bahkan mengajak bicara lebih dulu. Biasanya harus gadis itu paksa. Dan setelah masuk ruang kerja kakaknya, gadis itu semakin dibuat syok karena tiba-tiba Kim Bum minta maaf duluan.
"Ada angin apa, Kak? Kok tumben? Ini aku gak salah dengar, kan?"
"Mau kakak tarik lagi permintaan maafnya?"
Lisa panik lagi, dia langsung bereaksi.
"Eh, jangan-jangan! Enggak bosen apa marahan sama adek sendiri?"
"Kamu yang mulai."
"Ya karena kak Kim Bum nyebelin!"
"Ya udah maaf."
"Ya udah iya kita baikan."
Adik kakak itu saling bertukar tatapan kemudian terkekeh bersama. Ya walau hanya kekehan kecil.
"Katanya kamu enggak mau bicara sama kakak sebelum kakak minta maaf duluan. Karena sekarang kakak sudah minta maaf, jadi mari kita bicara serius."
"Kak so Eun yang bilang?"
"Siapa lagi."
"Hhh ... itu artinya kakak sudah tahu kan tentang rencana aku?"
"Iya, kakak mau minta penjelasan dari kamu. Kenapa tiba-tiba ingin jadi relawan dokter? Apa alasannya?"
"Aku sudah bilang sama kak So Eun kalau kegiatan itu akan memberikan poin plus pada ujian akhir untuk memperoleh sertifikat spesialis nanti. Hitungannya masuk pelayanan langsung dan bentuk pengabdian pada masyarakat. Karena tidak semua orang mau melakukannya maka dari itu reward yang akan diberikan sangat besar. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu."
"Kamu tidak percaya diri akan mendapat nilai maksimal dalam ujian nanti dengan cara normal?"
Lisa mengembuskan napas berat, "Kak, aku dan kakak itu berbeda. Kemampuan akademisku tidak lebih tinggi dari kakak yang bisa dengan mudah lulus ujian ini dan itu. Kakak menggunakan kejeniusan untuk menyelesaikan pendidikan kakak tapi aku ... aku hanya mengandalkan kemauan dan tekad karena sejak awal basic kecerdasan kita berbeda. Bagiku, bisa sampai di tahap ini dengan waktu sesuai target saja sudah menjadi keniscayaan. Jadi aku tidak akan ragu melakukan apa pun untuk mencapai tujuanku sekali pun harus mempertaruhkan nyawaku."
Kim Bum tertegun mendengar alasan Lisa. Tidak terpikir sebelumnya bahwa sang adik akan memiliki pandangan seperti ini terhadap Kim Bum. Apa selama ini Lisa merasa minder dengan kejeniusan kakaknya? Padahal seingat Kim Bum, orang tua mereka tidak pernah membanding-bandingkan kecerdasan apalagi pencapaian kedua anak itu. Orang tua Kim Bum sangat menghargai setiap potensi yang dimiliki anaknya. Baik Kim Bum atau pun Lisa sama-sama berharga bagi keduanya.
"Kenapa kamu bicara seperti itu? Memangnya siapa yang bilang kamu tidak lebih pintar dari kakak?"
"Memang faktanya begitu, kan? Kakak selalu sukses besar dalam melakukan apa pun padahal usahanya terlihat effortless. Sedang aku? Aku harus mati-matian belajar. Setiap ada ujian rasanya seperti mau perang. Gelisah dan tak bisa tidur tenang, takut tidak lulus ujian. Takut mengecewakan ayah dan ibu. Takut mempermalukan kakak. Masa adik dari dokter bedah ternama di Korea, gagal dalam ujian. Kan beban moral, Kak. Itulah mengapa terkadang aku tidak ingin orang-orang tahu kalau aku itu adikmu."
Selain mengejar Radiaska, agaknya hal ini juga yang memotivasi Lisa untuk ikut program relawan ke daerah konflik. Sebenarnya ia tidak ingin mengungkapkan hal ini pada kakaknya, karena sejujurnya dia tidak seminder itu juga. Hanya terkadang Lisa cukup terganggu saja jika ada orang di lingkungan kerjanya membandingkan proses Lisa dengan Kim Bum.