Perfect Imperfection #2

386 57 9
                                    

"So Eun," panggil Kim Bum saat kami sedang tiduran di padang rumput sintetis sebuah taman.

Musim semi sudah datang, berbulan-bulan waktu kulewati bersama lelaki baik ini. Aku tidak pernah berhenti bersyukur karena telah dipertemukan dengannya. Aku bahagia, mungkin ini adalah momen paling membahagiakan yang aku punya selama hidupku.

"Hm?"

"Bagaimana cuaca hari ini?"

"Sangat indah, Bum, bunga mulai bermekaran, pemandangan hijau sepanjang mata memandang, dan kau bisa merasakannya sendiri bukan? Udaranya segar sekali. Kita keluar di waktu yang tepat."

Kudengar dia terkekeh usai aku menjelaskan.

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku hanya bertanya satu hal dan kau menjawab dengan sangat detail. Kebiasaanmu ini tidak akan pernah aku lupakan."

"He he, aku hanya ingin kau bisa membayangkan keindahan yang tidak bisa kau dapatkan dengan matamu. Sampai kapan pun, aku akan selalu siap menjadi mata untukmu, Kim Bum. Akan kubawa semua warna yang menghilang kembali padamu melalui cerita-ceritaku."

Kim Bum tersenyum sambil menatap langit yang selalu kelam untuknya. Sementara aku menatap dia, yang senantiasa bersinar di mataku.

"Andai saja ada keajaiban dan aku bisa melihat kembali, aku mau meminta satu hal pada Tuhan."

"Meminta apa?"

"Aku mau meminta sehari saja agar bisa kembali melihat dunia. Ada seseorang yang ingin aku kenang wajahnya. Ada seseorang yang ingin selalu aku ingat di mana pun dan kapan pun aku berada. Aku ingin mengukir lekuk wajahnya di hatiku, sehingga kalau pun Tuhan kembali membawaku pada kegelapan, aku masih bisa mengingat orang itu."

Air mataku jatuh tanpa alasan, aku tidak tahu siapa orang yang dia maksud. Namun hati kecilku bisa merasakan bahwa orang itu adalah aku. Katakan aku terlalu percaya diri, tapi memang begitulah rasanya.

"Boleh aku tahu siapa orang itu?" tanyaku untuk memastikan.

Kim Bum tersenyum, kulihat dia juga meneteskan air mata di sela senyum tulus itu. Ada apa ini? Kenapa dia bersikap aneh?

"Dia adalah gadis aneh yang memiliki kehidupan pelik. Gadis yang dengan tidak tahu malu menguntitku lalu mengajakku berkenalan tanpa ragu. Gadis cerewet yang menyimpan banyak luka namun selalu bisa membagi sedikit bahagianya untukku. Gadis itu kau, So Eun. Teman teraneh yang pernah aku miliki."

Aku beringsut untuk duduk, Kim Bum masih berbaring dan menatap langit dengan senyum khasnya. Kuambil kedua tangannya lalu kusimpan pada kedua pipiku. Aku menuntun jemarinya untuk menelusuri setiap inci wajahku. Dari kening, menuju alis, hidung, mata pipi, dagu, dan terakhir berhenti di bibir.

"Kau harus mengingatnya, ya. Kau tidak perlu mata untuk merekam seperti apa rupaku. Cukup gunakan hatimu dan kenanglah aku semampumu."

"Kenapa harus semampuku dan bukan selamanya?"

"Cinta tidak pernah menuntut apapun, Kim Bum," batinku, hanya bisa bersuara untuk diriku sendiri.

"Aku tidak mau menuntut apa pun darimu. Tidak perlu mengenangku selamanya jika itu akan membebanimu suatu saat nanti. Cukup kenang aku semampu hatimu saja. Kurasa itu lebih bijaksana."

Angin sore menerpa, kesenduan yang Kim Bum pencarkan berhasil merasuk dalam diriku. Sekarang aku merasa begitu khawatir dan ketakutan. Takut tidak bisa melihat dan menyentuh lelaki baik ini lagi. Kenapa begitu?

"Kim Bum," panggilku lirih sambil terus menatapnya dalam posisi dia berbaring.

"Hm?"

"Kenapa kau tiba-tiba bicara seperti ini? Kesannya seperti kau mau pergi ke tempat jauh untuk waktu yang lama."

Tanpa menjawab pertanyaanku tiba-tiba Kim Bum memelukku erat. Tubuhku hinggap di atas dadanya dan lagi, kurasakan sendu yang tidak biasa. Atmosfer ini sangat mengusik ketenanganku.

"Apa yang harus aku lakukan So Eun?" bisiknya diselingi napas berat.

"Ada apa? Sesuatu yang buruk terjadi?"

Dia menggeleng kemudian melonggarkan pelukannya. Menatap ke arahku meski tak benar-benar melihat. Pada akhirnya aku tahu apa yang membuatnya seperti ini. Sepasang malaikat baru saja hinggap pada kehidupan Kim Bum dengan membawa secercah harapan untuk laki-laki ini. Mereka berniat mengadopsi Kim Bum. Ya, sepasang suami istri itu memilih laki-laki berusia 17 tahun untuk diangkat menjadi putra mereka alih-alih mengadopsi bayi atau balita. Kim Bum tidak tahu alasannya dengan pasti, yang jelas mereka bersungguh-sungguh dengan niat baik itu.

Kim Bum dan pihak panti sudah mengenal cukup lama pasangan itu. Mereka adalah donatur tetap panti asuhan yang Kim Bum tempati. Saat masih bisa melihat, mereka juga terbilang sering bertemu bahkan bercakap akrab dengan Kim Bum. Intinya, Kim Bum sudah mengenal baik calon orang tuanya. Bisa aku lihat ada semangat yang terbalut keraguan dalam mata lelaki ini. Seakan dia sedang terperangkap dalam situasi yang membuatnya bimbang.

"Apa yang harus kau bingungkan, Kim Bum, pergilah. Ini adalah keajaiban yang Tuhan kirimkan untukmu. Mereka berkenan untuk mengadopsi bahkan mengupayakan pencangkokan matamu. Kau punya harapan untuk melihat lagi. Itu kan impian terbesarmu sekarang?"

"Jika aku menerima tawaran itu. Artinya aku akan berpisah darimu. Aku tidak mau hal itu terjadi. Kau satu-satunya temanku."

Aku mengelus pipi Kim Bum, berat rasanya untuk terdengar tegar. Sebenarnya aku juga tidak siap ditinggalkan. Aku tidak mau berpisah Dengan Kim Bum. Tapi ini demi masa depannya jadi aku tidak boleh egois.

"Kim Bum, tolong dengar ini baik-baik. Apapun yang terjadi kau harus tetap pergi dan hidup bersama orang tua angkatmu. Di sana kau punya kesempatan untuk kembali meraih impian terbesarmu. Harapan itu benar-benar masih ada, Kim Bum."

"Lalu bagaimana denganmu?"

"Jangan khawatirkan aku. Lagi pula ini 2010, kita masih bisa bertukar pesan, teleponan, berkirim surat jika kau mau he he."

Aku terkekeh namun mataku mengeluarkan air mata. Sungguh sebuah paradoks yang memilukan.

"Bagaimana kalau kau ikut denganku? Kita bisa menulis kisah baru di tempat yang lebih baik. Hanya aku dan kau tanpa orang-orang kejam di sekitar kita."

Hatiku bertiak "ayo" namun mulutku berucap sebaliknya. Aku tidak mungkin membebani Kim Bum dan keluarga barunya dengan kehadiranku. Bukan hal mustahil jika pasangan suami istri itu membatalkan rencananya karena keikutsertaanku. Tidak, aku tidak mau mengacaukan rencana besar ini.

"Tidak bisa, Kim Bum. Aku harus tetap di sini. Tolong kuatlah demi aku. Terima tawaran itu agar kau bisa segera melihatku. Aku yakin, Tuhan pasti akan mempertemukan kita lagi. Cepat atau lambat."

Kim Bum memelukku lagi, kali ini dia menangis tersedu untuk melepas beban perasaan yang melukainya. Aku juga merasakan sakit yang sama. Tapi kami tidak punya pilihan. Kami harus tetap berpisah demi masa depan Kim Bum yang lebih baik.

"Aku janji akan mencarimu, So Eun, dan akan kupastikan aku bisa menemukanmu."

"Aku akan selalu ada untukmu, Kim Bum. Di mana pun kau berada, doaku akan senantiasa bersamamu. Semoga berhasil, ya."

Tes!

Air mengenai pipiku namun bukan dari pelupuk mataku. Hujan datang di musim semi. Sepertinya langit sedang mengasihani kami. Bersama dengan deras hujan yang turun, aku semakin berani untuk memecah tangis yang sejak tadi kutahan. Aku tidak bisa menyembunyikannya lagi. Di bawah guyuran hujan, aku menangkup kedua pipi Kim Bum. Kuraih bibirnya dengan bibirku. Kami saling menumpahkan perasaan di ambang perpisahan.

"Demi waktu, aku akan kembali padamu," bisik Kim Bum usai ciuman kami usai.

"Demi waktu, aku akan selalu menunggumu."

Bersambung
19. 03.21

Hanya tiga atau empat part. Singkat saja. Hahaha.

Kangen juga nulis model begini, semoga masih dapat feel-nya ya. Aku udah jarang nulis genre beginian. Keseringan nulis cerita receh jadi mau menguji diri.

Gimanaa lanjut, tak?

Mini SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang