"Anya, kamu bisa bantu aku?"
So Eun tiba-tiba memecah hening. Pertanyaan tak terduga itu sukses menarik perhatian perempuan berwajah indo yang tampak sangat cantik. Bulu matanya lentik, kulitnya putih bersih khas gadis keturunan Eropa. Namun wajahnya masih memiliki guratan khas mojang Bandung."Bantu apa, nih? Kok tumben nanya dulu, jadi penasaran."
Anya berkata demikian karena memang dia merasa sangat aneh, biasanya So Eun paling anti membuka obrolan di luar topik saat mereka sedang kerja kelompok. Kebetulan kedua orang itu sedang berada di perpustakaan saat ini. Mengerjakan tugas mata kuliah statistika yang deadline-nya tinggal satu hari lagi.
So Eun tampak termenung sejenak, sibuk tenggelam dalam berbagai pemikiran yang memenuhi benaknya. Mendadak dia kembali menimbang ulang keputusan yang padahal sudah diambil beberapa saat lalu. Saat gadis itu memutuskan untuk meminta bantuan Anya."Sso, are you ok?" ujar Anya, cukup peka bahwa karibnya ini sedang menanggung beban pikiran yang tak biasa. Pasti telah terjadi sesuatu, begitulah tebakan Anya.
"Aku baru aja dipecat dari tempat kerjaku semalam, Nya," aku So Eun akhirnya.
"Hah, kok bisa?"
Tergurat raut kesedihan di wajah So Eun saat Anya menanyakan alasan pemecatan gadis itu.
"Ada pelanggan yang berbuat enggak senonoh ke aku, saat itu aku nyiram wajah dia pakai kuah ramen. Aku kesel banget, Nya, dia pikir aku cewek apaan main sentuh-sentuh aku. Mana dia ngajak one night stand, gila enggak?"
"Bangsat! Itu cowok bangsat banget Sso, bukan gila lagi. Tapi dia enggak nyakitin kamu, kan? Ada yang luka enggak?"
"Untungnya enggak, ya Cuma aku masih jengkel aja karena dia berani nepuk bokong aku. Kalau inget kejadian itu, bawaannya pengen ngamuk aja aku."
"Iyalah pasti, kalau aku ada di sana saat kejadian, udah aku mampusin itu orang! sialan banget."
So Eun melenguh panjang, "Sayangnya orang itu berkuasa Nya, buktinya dia sukses bikin aku jadi pengangguran dalam waktu yang singkat."
"Bos kamu enggak ada belain karyawannya gitu? kamu berlaku kasar kan buat bela diri."
"Begitulah, bos aku enggak bisa berbuat banyak karena tamu itu mengancam akan menghancurkan bisnisnya kalau sampai dia berani memperkarakan kasus pelecehan ini ke polisi. Sebagai pihak yang lemah, aku bisa apa coba? Walau sakit banget nerima kenyataan ini tapi aku enggak bisa berbuat apa-apa."
"Ya ampun ... terus apa yang bisa aku bantu? Kamu mau aku cariin lowongan pekerjaan baru lagi? Kalau iya nanti aku minta bantuan sama kenalan om Hendri biar bisa bantu kamu."
So Eun kembali berpikir, kali ini lebih lama dari sebelumnya. Dia ingin segera mengutarakan niatnya namun entah mengapa tenggorokannya seperti tercekat. Tujuan sebenarnya yang ingin So Eun sampaikan pada Anya lagi dan lagi ditelan bersama perasaan ragu dan bimbang yang terus menggerogoti hati So Eun.
Anya menutup buku tebal yang sebelumnya ia baca sebagai referensi tugasnya, begitu pun dengan laptop yang baru menunjukkan setengah dari pekerjaan mereka."Sso, please ... jangan bikin aku khawatir kayak gini deh, sebenarnya kamu kenapa? Ada masalah apa? kamu perlu uang?"
Senyum miris So Eun tersungging seraya mengangguk pelan."Kamu butuh uang berapa? Barangkali aku bisa bantu."
"Cukup banyak, Nya. Ah, tepatnya sangat banyak. Aku belum bayar uang semesteran, uang kosan juga nunggak tiga bulan, dan ayahku bikin ulah lagi di kampung, Nya. Dia punya hutang ke renternir gara-gara kecanduan judi."
Mendengar penjelasan So Eun, kini Anya akhirnya paham kenapa temannya itu terlihat begitu stres dan banyak pikiran. Anya tahu tentang kisah keluarga So Eun yang cukup bermasalah. Beberapa kali gadis itu sempat menangis pada Anya saat curhat kalau semakin hari sikap ayahnya semakin keterlaluan. Dia merusak keutuhan keluarga mereka dengan cara berjudi. Orang tua So Eun jadi sering bertengkar karena hal itu. Tak jarang, ibu So Eun juga mengalami kekerasan akibat melarang tindakan gila suaminya.
Bisa dibilang keputusan So Eun merantau ke kota adalah untuk melarikan diri dari kebejatan sang ayah yang selalu semena-mena.