"Damar, mama masih tidak percaya saat ini kamu ada di hadapan Mama. Apa mama sedang bermimpi? Apa kehadiranmu saat ini hanya bayangan semu karena efek mabuk semalam?"
"Semalam mama memang sangat mabuk tapi kehadiranku sekarang bukan ilusi atau imajinasi mama."
Miranda tersenyum bahagia, akhirnya setelah sekian lama sang putra sulung bersedia juga pulang ke rumahnya. Tanpa kabar berita sebelumnya, Miranda begitu terkejut ketika bangun tidur dia langsung melihat kehadiran putranya. Bahkan meski saat ini dia sudah mandi, segar, dan efek mabuknya sudah sirna dengan sempurna, wanita itu masih merasa semuanya seperti mimpi.
"Ahhh, terima kasih Damar, akhirnya kamu mau pulang juga. Mana adikmu? Kenapa kamu tidak mengajaknya ke sini?"
"Ivan masih marah sama mama, jangan terlalu bahagia dulu. Mama masih punya tugas meluruskan masalah dua tahun lalu pada kami."
"Sayang, sudah mama bilang kejadian dua tahun lalu tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan mama. Gagalnya pernikahan papamu dengan Wanda bukan disebabkan oleh ulah mama. Kamu pikir mama sekejam itu sampai berani menggagalkan pernikahan papamu," tegas Miranda.
Sebenarnya ia lelah dituduh bersalah atas kasus usang ini. Kasus yang membuat kedua anaknya tiba-tiba hilang respect padanya.
"Tapi semua bukti sabotase kecelakaan tante Wanda mengarah pada mama. Kenapa bisa dompet mama ada di tempat kejadian kecelakaan. Kenapa bisa mama menjadi kontak terakhir yang dihubungi tante Wanda. Dan yang terparah adalah ada saksi yang melihat mama menyuruh orang untuk menyabotase kendaraan tante Wanda."
"Semua itu fitnah Damar, kamu harusnya percaya sama mama."
"Aku ingin percaya sepenuhnya pada mama tapi setiap kali aku berusaha mempercayai mama, saat itu juga mama selalu mengecewakanku."
"Kalau kamu masih belum percaya pada mama, lantas kenapa hari ini kamu ada di hadapan mama? Bukankah kamu dan adikmu sudah bertekad tidak akan menemui mama sebelum mama mengaku salah pada papamu?"
Damar mengembuskan napas berat. Seperti inilah yang terjadi jika dia mengajak mamanya berdebat. Tidak pernah ada titik temu dan akan senantiasa berlangsung alot.
"Tidak bisakah mama menurunkan sedikit ego mama untuk memperbaiki keadaan? Dua tahun Ma, belum cukupkah waktu dua tahun mama dan papa perang dingin? Lagi pula semuanya sudah berlalu, tante Wanda juga sudah tidak ada. Apakah seberat itu untuk mama meminta maaf pada papa?"
"Damar, mama bukan orang bebal yang tidak bisa meminta maaf jika mama bersalah. Mama hanya akan meminta maaf jika mama merasa mama salah. Bukankah kasusnya sudah ditutup? Pihak pengadilan memutuskan bahwa itu hanya kecelakaan biasa dan bukan sabotase. Harusnya kamu percaya pada keputusan hakim."
"Masalahnya papa tetap yakin kalau mama terlibat dalam kecelakaan itu."
"Masalahnya mama juga sangat yakin kalau mama ini tidak bersalah. Sampai dunia runtuh pun, mama tidak akan pernah mengaku bersalah atas kecelakaan dan kematian Wanda. Bilang pada papamu, tidak usah buang-buang waktu menunggu kedatangan mama untuk meminta maaf ke sana. Sampai kapan pun, itu tidak akan pernah terjadi. Harusnya papamu yang datang ke sini dan bersujud meminta maaf pada mama."
Miranda mengembuskan napas, ia berdeham sebentar karena Damar tak kunjung menimpali pernyataan tegasnya. Sungguh, Miranda sama sekali tidak berniat untuk kembali bersitegang dengan putranya. Bisa-bisa momen berharga ini hancur dan lewat begitu saja untuk hal-hal yang sebenarnya tidak penting.
"Damar, kamu tahu serindu apa mama padamu dan Ivan? Mama sudah memaafkan kalian karena kalian ikut terpengaruh fitnah tak jelas itu. Mama sudah melupakan semua tuduhan kejam kalian pada mama. Tapi bisakah kamu dan Ivan menerima dan menghargai keputusan juga keyakinan mama? Bisakah kamu bersikap netral dan tidak memihak papamu di depan mama?"