Sepuluh tahun lalu ...
"Bagaimana hari-harimu di sana, Bum?" tanya So Eun tengah berkabar dengan sang sahabat yang seminggu lalu meninggalkan tanah air.
Mereka sengaja bertukar nomor telepon agar komunikasi tetap terjalin selama keduanya berpisah. Dikabarkan Kim Bum akan menetap cukup lama di sana karena orang tua angkatnya sekaligus mengurus bisnis mereka.
"Hari-hariku di sini sama saja seperti di sana, hitam dan gelap. Malah lebih sepi karena kamu tidak di sini."
"Ey ... ayolah, kamu kan sebentar lagi mau operasi mata seharusnya kamu senang. Tak lama lagi penglihatanmu akan kembali normal."
"Percuma saja kalau aku tidak bisa melihatmu."
Sejak bertemu dengan So Eun, alasan paling kuat yang membuat Kim Bum ingin busa melihat lagi ya gadis itu. Dia ingin tahu seperti apa wajah malaikat yang bisa tulus menerima ketidaksempurnaannya dengan sangat sempurna, sehingga Kim Bum bisa kembali menggenggam rasa percaya diri dalam hidupnya.
"Ini zaman sudah modern, Kim Bum, kita bisa menggunakan internrt untuk saling melihat wajah. Pokoknya sekarang kamu jangan banyak pikiran ya, fokus saja pada operasimu."
Kim Bum terkekeh mendengar suara So Eun yang meninggi disertai nada gemas pada dirinya. Perempuan ini memang sangat unik, selalu memedulikan orang lain di saat justru dirinyalah yang harus dipedulikan orang lain.
"Doakan saja semoga operasiku berjalan lancar."
"Aamiinn, semoga operasimu lancar dan kita bisa bertemu lagi nanti setelah kamu bisa melihat."
"Bagaimana kabarmu di sana, Sso? Apa paman dan bibimu masih sering bertindak semena-mena?"
"Huhh ... begitulah Bum, mereka tetap saja memperlakukan aku seperti budak di sini. Padahal rumah ini milik orang tuaku kan ya, aku tidak sabar lagi menanti keputusan balik nama aset orang tuaku. Sebentar lagi kan usiaku 18 tahun, semuanya akan kembali padaku, Bum. Tapi setahun itu cukup lama, kamu doakan aku ya supaya bisa bertahan sampai saat itu."
"Kamu orang yang kuat, apa pun masalahnya pasti bisa kamu selesaikan, So Eun. Aku akan selalu mendoakanmu dari sini, supaya kamu baik-baik saja selagi tidak ada aku di sampingmu."
"Kamu memang teman terbaikku, Bum. Sudah dulu ya, aku harus cuci pakaian. Bisa mengomel nanti bibi kalau tahu aku sedang sibuk telponan denganmu."
"Mm, kabari aku setelah selesai. Jangan lupa sembunyikan ponselnya."
"Siap Bos, dahhh--"
"So Eun tunggu!" cegah Kim Bum sebelum sambungan telepon itu terputus.
"Ya, kenapa Bum?"
"Aku merindukanmu," ucap Kim Bum sambil menahan semburat malu di pipinya.
"Wkwk, iya aku juga merindukanmu, Kim Bum. Sampai ketemu nanti ya, di saat kamu sudah bisa melihat."
Sambungan pun terputus di sana, Kim Bum meraba meja nakas lalu menyimpan ponselnya di sana.
Tok tok ...
Terdengar ketukan pintu, mama Kim Bum masuk ke kamar dan mendapati putra angkatnya sedang melamun di atas kasur.
"Kenapa belum istirahat, Kim Bum?"
"Ah, Mama, aku belum mengantuk."
"Ini sudah pukul dua belas malam, istirahatlah, kamu tidak boleh kecapekan."
Kim Bum sejujurnya masih agak canggung dengan situasi baru ini. Tiba-tiba mendapat orang tua di usianya yang sudah menginjak 17 tahun tentu memerlukan proses adaptasi yang cukup panjang agar dia bisa lebih nyaman.