Perfect Imperpection #1

977 64 7
                                    

Oktober, 2010

Berbicara tentang semesta cinta, aku teringat pada satu kisah yang tak pernah kubayangkan bisa mengalami hal semacam itu dalam peliknya kehidupanku.

Sore hari saat dedaunan jingga itu gugur dan menari bersama angin. Aku melihatnya duduk dengan pandangan lurus yang mendamaikan. Tidak banyak yang dia lakukan, hanya diam--seperti menanti seseorang. Aku tidak mengerti mengapa mataku tertarik untuk terus menjatuhkan pandangan pada sosoknya.

Banyak orang berlalu lalang di sana, namun tak ada satu pun yang lebih menarik dari pemuda ini. Bisa dibilang, dia memiliki pesona unik yang bisa menaklukkan hati seseorang tanpa perlu dia melakukan apapun. Itu kali pertama aku merasakan hal asing yang anehnya mampu menyisir sebagian sakit yang aku rasa sebelum menemukannya di sana.

Angin berembus--membelai kulit pipiku dengan sensasi dinginnya yang tidak menusuk. Sangat pas, caranya menerbangkan rambutku pun sangat sopan. Aku terbuai dalam imaji yang kubuat sendiri. Langkahku begitu tegas namun teratur untuk mendekati si pemuda yang bahkan tak menghiraukan kedatanganku.

Benar, aku nekat sekali menghampirinya. Tidak tahu mau apa, harus berbicara apa, atau bersikap bagaimana. Aku hanya ingin mendatanginya. Melihatnya dari dekat dan memastikan apakah sosok ini benar-benar nyata atau sebatas ilusiku semata.

Ada yang aneh dengan kebisuan yang terjadi di sana. Aku benar-benar sudah berdiri di hadapannya namun tak sedikit pun hadirku tergapai perhatiannya. Kenapa? Situasi itu sangat tidak lazim. Kalaupun dia keberatan dan tidak suka dengan hadirku, dia pasti menegur atau mungkin mengusirku untuk menyingkir dari hadapannya. Tapi tidak, pemuda itu hanya menatap lurus tanpa fokus yang pasti. Seperti tatapan kosong yang sering kutemui pada mata orang-orang yang melamun.

Mulutku nyaris terbuka dan mengucap, "hai" namun langkah kaki yang mendekat ke arah kami langsung melemparku menjauh dari pemuda itu. Sekali lagi aku tidak mengerti dengan apa yang kulakukan kala itu, bukannya benar-benar pergi, yang kulakukan justru berdiri di balik pohon yang menjulang tepat di belakang kursi pemuda tadi duduk.

Kepalaku sedikit menyembul dari batang pohon, menajamkan pandangan lantas menguping pembicaraan orang asing yang entah akan membawa manfaat apa dalam hidupku. Seorang perempuan cantik sudah duduk di sebelahnya. Mereka bergeming beberapa detik sampai salah satu di antara mereka memecah kebisuan.

"Terima kasih karena kamu sudah bersedia datang ke sini, Jes."

"Aku tidak punya banyak waktu, Bum. Sebaiknya kamu katakan apa tujuanmu mengajakku bertemu di sini?"

Kulihat pria itu mengatur napasnya sebelum mulai berbicara lagi.

"Kenapa kamu sering mengabaikan panggilanku akhir-akhir ini?"

"Aku sibuk."

"Sibuk belajar untuk ujian masuk universitas?"

"Itu kamu tahu."

"Ya, aku mengerti, kamu pasti sedang menyiapkan perlengkapan untuk daftar ke kampus impianmu bukan."

"Iya, Kim Bum, iya. Bisa tidak, langsung saja ke pembahasan utama? Aku benar-benar harus segera pergi."

"Oke kalau gitu, aku tahu kondisiku sekarang sudah berbeda. Mungkin sulit buat kamu menerima kekuranganku ini tapi aku masih sangat berharap sama kamu, Jes. Kamu adalah salah satu orang yang bisa menguatkan aku dalam kondisi apa pun. Saat aku terpuruk, kamu selalu ada dan itu menjadi penyembuhan terbaik buat aku."

"Kamu selalu bisa menerima segala kurang dan lebihku. Aku beruntung karena telah dicintai dan mencintai gadis sepertimu. Hanya saja, setelah kecelakaan itu ... aku merasa kamu semakin jauh dariku. Orang-orang bilang, kamu mencampakkan aku tapi aku tidak percaya sebelum aku mendengarnya sendiri dari mulutmu."

Mini SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang