Bidadari Arash #1

988 72 16
                                    

"Kamu ini sebenarnya nyari laki-laki yang seperti apa toh, Nduk? Imran adalah orang ketiga yang lamarannya Bapak tolak. Jujur Bapak sudah malu karena terus menolak niat baik orang yang ingin memperistrimu. Apa kata tetangga nanti, dikiranya keluarga kita pilih-pilih dalam menentukan jodohmu."

Ruang tamu berukuran 3x3 itu mendadak dipenuhi suasana tak nyaman. Pintu rumah masih terbuka, bekas tamu yang beberapa saat lalu berkunjung. Mereka harus pulang dengan rasa kecewa usai niat baiknya tak mendapat respons yang diharapkan.

"Iya Nduk, ibu-ibu kalau ngumpul juga sering gibahin kamu. Katanya kamu terlalu pemilih, sok pengen yang sempurna tapi ndak sadar diri. Sakit hati ibu dengernya."

Apa yang harus Zaviya katakan untuk menanggapi perkataan orang tuanya? Memberi pembelaan? Oh, dia sudah kehabisan alasan saking seringnya menghadapi situasi ini. Zaviya juga sadar betul, Bapak dan ibunya sudah mengerti apa alasan Zaviya menolak Imran. Bukan karena pekerjaan lelaki itu yang hanya karyawan pabrik, bukan! Jika memang materi yang menjadi patokan, mungkin dua bulan lalu pinangan Bahtiar si pegawai bank tidak akan Zaviya tolak. Semua ini murni karena hati gadis 23 tahun itu belum siap. Dia tidak bisa menerima laki-laki yang bahkan tidak dia kenal sama sekali.

Walaupun katanya cinta bisa datang karena terbiasa, tapi Zaviya bukan orang dengan prinsip itu. Setidaknya dia harus merasakan percikan tertarik untuk memulai hubungan dengan seseorang. Jika rasa tertarik saja tidak ada, bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta?

"Maaf jika keputusan Viya membuat Bapak dan Ibu malu. Viya hanya belum siap berumah tangga Pak, Bu, apalagi dengan pria yang Viya tidak kenal."

"Tidak ada orang yang benar-benar siap untuk berumah tangga, Nduk. Mereka yang memutuskan menikah pada awalnya juga merasakan keraguan akan keputusan besar yang diambil dalam hidup mereka. Tapi pada akhirnya mereka sadar, bahwa pernikahan itu adalah ibadah yang bisa menjadi ladang pahala dan wadah untuk kita belajar. Belajar membersamakan perbedaan, menerima kekurangan dan kelebihan pasangan, dan belajar untuk saling memahami."

"Viya mengerti, Pak, sangat mengerti dengan apa yang Bapak jelaskan barusan. Tapi bagaimana mungkin Viya bisa belajar untuk memahami pasangan jikalau Viya saja tidak bisa merasa nyaman dengan seseorang yang menjadi pasangan Viya."

Zaviya menunduk tak berani menatap mata sang Bapak. Sekalipun tak sepaham dengan pendapat pria paruh baya itu, tapi Viya sangat menghormati Bapaknya. Viya ingin menjadi anak yang selalu taat pada orang tua, namun untuk urusan pasangan hidup, Viya ingin dia sendiri yang memegang penuh kendali.

Bapak mengela napas berat, rasanya percuma berdebat dengan Zaviya untuk saat ini.

"Ya, sudah Ibu mengerti, sana kamu istirahat saja di kamar. Kita bicarakan lagi hal ini nanti. Kamu tenangkan pikiran, shalat Isya dulu sebelum tidur, ya."

"Iya Bu, Viya permisi dulu."

Zaviya segera meninggalkan ruang tamu, bergegas masuk kamar dan menutup pintu bercat cokelat itu. Punggungnya masih menempel pada daun pintu, termenung sesaat sembari menatap kosong ke arah lampu di meja belajarnya.

"Ya Allah, tolong ridai keputusanku. Semoga jalan yang kuambil kali ini membawa kebaikan bagi semua orang, aamiinn ya rabbal'alamin."

***

Seperti sambaran kilat, kabar penolakan Zaviya terhadap lamaran Imran dengan cepat menyebar luas ke setiap penjuru desa. Walau desa tempatnya tinggal masih terhitung sebagai perkampungan yang kehidupan masyarakatnya belum semodern orang kota, namun masalah kecepatan menerima gosip tentu tidak perlu diragukan lagi kehebatannya. Kekuatan cerita dari mulut ke mulut sudah sukses menjadikan Zaviya kembali menjadi buah bibir para tetangga. Yang nyinyir semakin menjadi-jadi, yang menaruh hati pada Zaviya merasakan angin segar sekali--mereka masih berharap bisa mendapatkan hati sang bidadari desa.

Mini SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang