"Dia juga bilang, bahwa cinta tidak akan pernah bisa mengubah takdir. Tapi takdir bisa mengubah yang tidak cinta menjadi sangat cinta. Jika Kim Bum adalah takdirku, maka suatu saat dia pasti akan mencintaiku. Tapi jika bukan, maka suatu saat aku pasti tidak akan mencintainya lagi."Kim Bum mengetuk-ngetuk pulpen di tangannya ke meja, sorot matanya tampak kosong. Sejak semalam dia tidak bisa fokus dan terus memikirkan percakapan So Eun dan Lisa saat di taman belakang. Lisa teramat sering mengomelinya tapi gadis itu tidak pernah semarah ini pada Kim Bum. So Eun juga aneh, kenapa tiba-tiba mengungkit kisah kelam masa lalunya. Sampai ada adegan pelukan sambil menangis. Sangat dramatis. Entah kenapa Kim Bum tidak nyaman melihatnya.
"Woy! Ah, elah, diajak ngobrol serius dari tadi malah melamun."
"Sori, kau bilang apa tadi?"
"Aku bilang jadwal seminar kita diundur jadi minggu depan. Masih ada waktu untuk menggarap hal lain karena semua materi seminar sudah tuntas, kita tinggal tampil saja. Oh ya, lusa kau jangan lupa, mantan pasien VVIP kita mengundang makan malam. Katanya dia ingin berterima kasih karena enam bulan lalu operasi yang kita jalankan berhasil, kondisinya semakin baik dari hari ke hari," jelas Karel mengulang kembali penjelasan yang sebenarnya sudah ia sampaikan sejak tadi.
"Oh, oke, aku mengerti."
Karel menatap rekannya itu dalam. Menaruh curiga karena sejak tadi Kim Bum terus bersikap aneh. Sejak kapan coba dia tidak konsentrasi di jam kerja?
"Kau ada masalah apa, sih? Dari tadi melamun terus, bahkan saat rapat dengan direksi pun kau tidak begitu fokus. Aneh sekali."
"Tidak, aku hanya kepikiran Lisa saja," kata Kim Bum tidak sepenuhnya berbohong.
Dia memang kepikiran soal amarah Lisa tapi yang paling membuatnya hilang fokus adalah So Eun. Gadis itu terus mengisi ruang pikiran pria itu secara berlebihan. Sungguh mengusik ketenangan.
"Kenapa lagi adikmu? Seniornya resek lagi? Kan sudah kubilang bantu dia pas penempatan. Kau kan punya banyak kenalan di kementerian kesehatan, bisik-bisik sedikit pada mereka supaya menempatkan adikmu residen di sini biar kau bisa mengawasinya dengan mudah. Dan tentunya kalau ada kau, tidak akan ada yang berani macam-macam padanya lagi."
"Aku tidak akan sepusing ini jika yang muncul hanya masalah masa residennya. Tapi kali ini dia marah besar padaku gara-gara aku tidak makan malam. Sepele sekali bukan tapi dia marahnya membabi buta."
Karel memicingkan mata, dia mengendus aroma mencurigakan di sini.
"Aku tidak yakin Lisa marah besar hanya karena masalah makan malam. Pasti ada faktor lain, kan? Hayo ngaku, kau bertengkar lagi dengan istrimu?"
"Tidak, aku bahkan tidak pernah bertengkar dengannya."
"Itulah titik masalah terbesarmu, dokter Kim. Kau tidak pernah bertengkar atau pun bermesraan dengan istrimu. Lebih tepatnya, kau tidak pernah menganggapnya ada. Lisa sangat menyayangi kakak iparnya, wajar kalau dia marah padamu."
"Kau jangan ikut-ikutan berasumsi aneh."
"Asumsi apa? Semua yang kukatakan 100% fakta!"
Selain rekan kerja, Karel adalah teman seperjuangan Kim Bum saat menempuh pendidikan kedokteran. Meski sempat ditempatkan di rumah sakit berbeda saat masa koas dan residen. Akhirnya mereka dipertemukan kembali setelah sama-sama jadi dokter spesialis di rumah sakit yang sama. Kim Bum adalah spesialis bedah sedangkan Karel spesialis saraf. Jadi tidak heran jika Karel hafal betul rekam jejak kisah percintaan sahabatnya ini.
"Hahh ... tak tahulah, pusing," gumam Kim Bum bernapas berat.
"Sebenarnya masalahmu tidak begitu rumit jika kau mau membuka sedikit saja hatimu untuk So Eun. Dia kurang apa, sih? Sampai sudah dua tahun menikah dan kau belum luluh juga."