"Pak, aku benar-benar takut melakukan ini. Bukankah ini sama saja dengan kita menipu papa anda?" kata Yisa berbahasa isyarat sambil menunjukkan raut khawatir.
Menjalankan rencana mama Kim Bum memang memiliki risiko yang cukup besar. Kalau rencana mereka terbaca oleh tuan Kim sejak awal, mungkin hanya Yisa yang akan menanggung getahnya. Kemungkinan kehilangan pekerjaan adalah yang paling ringan. Bagaimana jika tuan Kim sampai melibatkan polisi?
"Kamu tenang saja Yisa, semua akan menjadi tanggung jawabku. Ayo kita masuk, mama dan papa sudah menunggu di dalam."
Hari ini adalah hari pendakwaan bagi Kim Bum dan Yisa usai tuan Kim mendapat kiriman foto tak senonoh beserta test pack dengan hasil positif dari putranya. Dengan modal doa dan kepercayaan pada Kim Bum, Yisa melangkah ragu memasuki kediaman utama keluarga Kim Bum. Ia tak bisa tampil percaya diri dalam keadaan ini. Banyak hal yang dikhawatirkan, gadis itu tidak siap jika harus menerima perlakuan yang tidak menyenangkan lagi. Otaknya lelah merekam hinaan, hatinya tak kuasa kembali diremehkan. Dengan kondisi Yisa tidak bisa berbicara, tentu mudah bagi ayah Kim Bum untuk menyerangnya. Apalagi dia lebih berkuasa dari Kim Bum.
Melihat kegugupan Yisa yang sangat kentara, Kim Bum refleks menggenggam tangan gadis itu. Yisa tersentak lantas menatap Yisa hangat. Mengalirkan ketenangan untuk menghalau bimbang di hati gadis itu. Di saat yang bersamaan senyum Kim Bum tiba-tiba luruh. Dia beberapa kali menatap genggaman tangannya pada Yisa. Sentuhan ini ... jemari ini ... mengapa Kim Bum merasa begitu nyaman dan tenang. Perasaannya sama persis dengan ketika ia berpegangan tangan dengan sahabat lamanya. Sahabat yang dikabarkan telah meninggal dunia sejak sepuluh tahun lalu. Kim Bum sudah berupaya mencari keberadaan So Eun ke mana-mana tapi tetap tidak ditemukan. Entah apa yang terjadi padanya, yang jelas pria itu sangat ingin bertemu dengan sahabat lamanya.
Setelah beberapa menit akhirnya Kim Bum dan Yisa sudah tiba di tempat tujuan. Mereka duduk bersisian dengan papa Kim yang tak melepaskan tautan pandang dari keduanya sama sekali. Perasaan Yisa semakin tak karuan, dia serasa tersudut sekarang. Papa Kim Bum serasa mengintimidasinya dalam diam dan itu hal paling menakutkan bagi Yisa.
"Jadi sudah berapa lama kamu menjalin hubungan dengan gadis ini, Bum?"
Pertanyaan dasar itu mengalun tenang, mungkin ini adalah pemanasan sebelun muncul pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang akan menjadi pamungkas.
"Kurang lebih satu tahun, Pa."
"Kamu memiliki kekasih selama satu tahun dan menceritakannya sama sekali pada kami?"
"Aku menunggu momen yang tepat untuk mengenalkannya pada Papa dan Mama."
"Menurutmu ini momen yang tepat untuk mengenalkannya? Di saat papa sudah mengatur rencana pertunanganmu dengan putri pak Richard?" cecar papa Kim.
Tangan Yisa semakin berkeringat dingin, ia benar-benar takut Kim Bum mendapat masalah besar karena kebohongan ini.
"Aku sama sekali tidak tahu tentang rencana Papa. Aku juga tidak bermaksud menghancurkan rencana itu tapi untuk sekarang aku akan tegas menolak perjodohan itu. Seperti yang papa ketahui, aku sudah berhubungan dengan Yisa dan dia sedang mengandung anakku."
Mama Kim Bum hanya angguk-angguk menyiratkan bahwa akting putranya memang sangat meyakinkan. Dia bangga.
"Lalu sekarang apa rencanamu? Kamu mau menikahinya begitu?"
"Kenapa tidak, Pa? Aku cinta dia dan aku juga nyaman saat bersamanya. Terlebih sekarang ada darahku dalam rahimnya, aku semakin yakin untuk memperistri Yisa."
Kim Bum mengatakannya dengan tegas lugas dan tenang. Satu tangannya masih menggenggam tangan Yisa. Mendengar kata cinta yang diucapkan Kim Bum membuat Yisa ingin menangis. Dia bahagia sekali walaupun tahu semuanya hanya sandiwara.